Selasa, 07 Januari 2020

Bab 0: Perpisahan. Pembatalan. Kekosongan.

7 Januari 2019. Setahun yang lalu.

Itu adalah sebuah tanggal yang takkan pernah kulupakan.

Ketika aku mengambil sebuah keputusan yang sangat pahit, namun tak pernah kusesali sampai saat ini (dan mungkin untuk selamanya).

Saat aku mengambil sebuah keputusan bulat untuk mengembalikan dirinya ke asuhan orang tuanya dan menyatakan akan membatalkan pernikahan.

Tentunya, kau pasti punya banyak sekali pertanyaan. Pembatalan pernikahan, apa itu? Bukan cerai? Kenapa cerai? Ini kisahnya apa toh, kok belum apa-apa sudah disuguhkan dengan kata "pisah"? Ga bisa rujuk?

Well, jawabannya tidak sesederhana pertanyaan-pertanyaan itu.

Di agama Katolik, Gereja tidak mengizinkan perceraian, karena ada tertulis di Alkitab (Perjanjian Baru, silakan di-Google sendiri) bahwa apa yang telah dipersatukan Allah tidak boleh diceraikan manusia. Maka dari itu, pernikahan (atau "perkawinan" dalam bahasa Gereja) dianggap sesuatu yang sangat sakral. Persiapannya pun ribet di Katolik. Kamu harus mengikuti kursus perkawinan yang diadakan oleh Gereja pada waktu-waktu tertentu. Ada aturan minimal kehadiran juga supaya mendapatkan sertifikat lulus kursus. Sertifikat itu menjadi syarat mengajukan sakramen perkawinan. Sebelum bisa menikah pun, ada namanya penyelidikan kanonik. Romo (tidak harus yang memberkati sih) akan mewawancarai kedua belah pihak, baik calon istri dan calon suami, secara terpisah. Aku agak lupa pertanyaannya apa saja, tapi tentu saja menyangkut keseriusan pernikahan, misalnya mau punya anak berapa, lalu kenapa kok bisa suka sama si dia, dan sebagainya. Kalau penyelidikan kanonik menyimpulkan pasangan ini belum layak menikah, ya mundurlah pernikahannya. Atau, bisa jadi batal.

Yang aku herankan, dia bisa lolos dari penyelidikan kanonik itu. Padahal ga serius nikah! Hah, kok bisa ada orang nikah ga serius? Main-main nih?

Ternyata ada!

Ikuti terus blog ini untuk tahu kok bisa ya ada orang seperti itu.

Balik lagi ke cerita hari ini. Yang terjadi adalah, aku dan mama pergi ke rumahnya untuk memberitahukan keputusan itu. Papa nggak bisa ikut karena sedang sakit, jadi hanya aku berdua. Saat itu perasaanku pun campur aduk. Deg-deg-an. Sebelumnya, kami sudah pernah berargumen dengan keluarganya, dan waktu itu jalan buntu. Jadi, pertemuan yang ini begitu menakutkan bagiku. Bagaimana kalau mereka marah? Berargumen tidak masuk akal lagi?

Saat tiba di rumah mereka, awalnya sih kami disambut baik, walaupun mamanya sempat menyindir, "Katanya cuma seminggu, kok jadi sebulan?" Ya, waktu kami memutuskan untuk berpisah sementara dan mendinginkan pikiran, awalnya hanya seminggu saja. Tapi, karena sudah cukup terluka, hingga satu minggu berlalu, aku tidak sembuh. Jadi, kuputuskan untuk memperpanjang "masa damai" itu selama satu bulan, hingga tahun 2018 berakhir. Dia pun dipanggil. Awalnya aku melihat dirinya masuk ke ruang tamu dalam keadaan malas, lusuh, tidak bersemangat sama sekali.

Pertemuan itu dihadiri lima orang: aku, mama, dirinya, mamanya, dan papanya. Tidak ada orang lain. Tentunya aku sudah tidak ingat dengan persis urutan pembicaraan kami waktu itu. Yang aku ingat dengan jelas, aku mengambil inisiatif untuk berbicara terlebih dahulu. Sebelum mereka memotong dan memaparkan argumen yang egosentris, individualistis.

"Ma, Pa, mohon maaf, tapi setelah berpikir panjang selama sebulan ini, bahkan meminta petunjuk ke Bunda Maria, akhirnya saya memutuskan. Karena toh Clara sudah menyatakan bahwa:
1. Dia tidak cinta saya, bahkan sebelum menikah
2. Dia menyesal menikahi saya
3. Dia tidak melihat dirinya sebagai seorang istri maupun ibu, baik sekarang maupun nanti
4. Dia menikah atas paksaan (walaupun tidak ada pengakuan siapa yang memaksa)
5. Dia tidak menginginkan untuk memperbaiki keadaan
Maka saya sudah mengambil keputusan ini. Tolong hormati keputusan saya ya Ma, Pa.

Saya akan membatalkan pernikahan ini."

Dalam Gereja Katolik, pernikahan dapat dibatalkan jika alasannya sangat kuat. Istilahnya: anulasi perkawinan. Salah satu alasannya adalah terdapat paksaan saat menikah, sehingga pernikahan itu dianggap tidak sah. Alasan lainnya adalah tidak pernah terjadi hubungan badan sejak menikah. Kau tahu, hingga kini, aku masih perjaka! Dia? Aku tidak tahu apakah dia perawan atau tidak, karena malam pertama pun kami tidak berhohohihe ria di atas ranjang hotel.

Dia lebih asyik bermain game bersama teman-temannya.

Gamer yang baca kalimat sebelumnya pasti akan protes, enak aja nyalahin game! Tunggu dulu Mas Mbak. WHO menyatakan kecanduan game baru bisa dicetuskan setelah pengamatan yang cukup lama, idealnya 12 bulan. Aku telah mengamati dia sepanjang itu, bahkan 18 bulan durasinya. Memang game lah yang akhirnya merusak rumah tangga kami.

Balik lagi ke pertemuan tadi, semuanya terdiam cukup lama. Untungnya, orang tuanya akhirnya setuju! Bahkan, aku melihat dirinya mendadak berbinar-binar. Semangatnya kembali. Ketika aku bilang, "untuk semua administrasi biar saya saja yang ngurus," dia memotong, "Diurus bareng aja," Artinya, dia memang menginginkan perpisahan itu terjadi. Bahkan dia sudah tahu bahwa anulasi pernikahan itu lama, bisa bertahun-tahun, bahkan bisa sampai ke Roma. Bukankah itu berarti dia berkehendak dengan sadar untuk membatalkan pernikahan itu?

Nggak habis pikir deh. Kalau ga serius, ngapain nikah?

Maka, sejak saat itu, kami pun hidup berpisah. Awalnya aku sengaja mengulur-ulur pengurusan anulasi pernikahan itu, dengan sedikit harapan siapa tahu ia berubah. Ternyata tidak. Dalam satu tahun ini, dia tidak pernah chat aku sekali pun, kecuali saat menanyakan masalah anulasi pernikahan. Ketemu juga nggak pernah (nah ini hebat banget, karena kami aslinya sekantor. Bahkan dalam tiga kali acara ramah-tamah yang diadakan kantor, ga pernah ketemu lho!). Nyapa? Apa lagi. Bukan karena dia malu, tapi karena dia sudah benci total padaku. Aku pun sekarang juga berubah jadi benci padanya. Kalau bisa, nggak perlu berhubungan lagi dengannya. Sayangnya proses anulasi belum bisa dimulai. Gerejanya masih sibuk.

Aslinya aku ingin bercerita lebih jauh lagi tentang semua ini. Kenapa sih kok bisa sampai aku memutuskan untuk berpisah bahkan membatalkan pernikahan? Tentunya ada sebuah alasan yang sangat krusial. Ini semua berhubungan dengan game, jadi jangan marah kalau seolah-olah game dijadikan kambing hitam di sini. Aku sendiri gamer, dan dulu juga menolak bahwa game itu selalu disalahkan atas sesuatu. Tapi, kini aku mengalami sendiri betapa rumah tangga pun bisa jadi rusak karena game. Aku akan menceritakan semuanya, dari awal kami bertemu, sampai akhirnya kami harus berpisah.

Semuanya karena game.

Sampai detik ini aku masih berusaha pulih dari kekosongan tiba-tiba yang terjadi di hidupku. Begitu sampai di rumah, aku pun bercerita pada papa atas hasil pertemuan tadi. Malam itu segala kesedihanku pun memuncak. Aku merasa gagal menjadi orang dewasa dalam hal pernikahan. Aku merasa mengecewakan orang tua karena hanya aku yang memutuskan berpisah. Siapa juga kan yang mau pernikahannya gagal? Untungnya orang tua sangat mendukung keputusanku berpisah, bahkan selalu mendorong untuk segera mengurus anulasi pernikahan supaya bisa segera putus hubungan total dengannya.

Ada benarnya sih. Kadang-kadang rasa bersalah itu bisa muncul sendiri, terutama kalau melihat teman-teman yang pernikahannya "terlihat" mesra, tidak ada apa-apa (ga mungkin benernya kan ya? Tapi yang kita lihat di medsos tentunya sudah difilter, ya kan?), sudah punya anak, dst.. Beberapa kali pernah terbersit pikiran untuk lompat saja dari balkon apartemen dan mengakhiri semaunya ini.

Hanya satu pemikiran yang mencegahku melakukan hal itu.

Hidupmu jauh lebih berharga daripada orang itu.
Bayangkan, kalau kamu bunuh diri, siapa yang akan merawat orang tuamu? Sanak saudaramu? Teman-temanmu akan pontang-panting mencari pengganti (bukannya mau nyombong, memang kantor sih pasti bisa cari pengganti karyawan, tapi nggak bisa cepat kan?). Belum lagi proyek-proyek hobimu yang belum selesai. Siapa yang mau menyelesaikan?
Dan dia akan tetap cuek saja sekalipun kamu mati.

Tapi beneran, kalau teman-teman yang baca ini juga sedang mengalami depresi, hadapi. Cari teman yang benar-benar bisa diajak ngomong, atau bahkan cuma mendengarkan keluh kesahmu saja. Kalau perlu, hubungi psikiater. Sudah saatnya depresi dipandang sebagai sebuah penyakit yang juga sama mengancam jiwa seperti penyakit fisik. Kabur dari penyebab masalah tidak akan menyelesaikan masalah, malah bisa membuatnya tambah besar.

Aku jadi ingat pernyataan Clara di email-nya (kapan-kapan aku akan cerita, kok email?). Dia bilang, dia bersedia menanggung semua dosa akibat perbuatannya. Maka, eh ya sudah lah, kepo amat sama perilaku orang yang ga bener? Toh dia sudah bukan urusanku lagi kan? Biarlah dia berperilaku sesukanya, yang penting kelak dia akan menanggung segala akibatnya. Beres kan?

Well, itu dulu pengantar kisah hidupku yang rumit ini. Sampai di kisah berikutnya.