Jumat, 11 Desember 2020

Bab 6: Persidangan. Birokasi. Akhir awal.

Ini mungkin update yang ditunggu-tunggu mereka yang ingin tahu tata cara perceraian non-Muslim di pengadilan negeri. Let me tell my story sebagai seorang Katolik.

Jadi, setelah mendapatkan pengacara, yang harus aku lakukan adalah menunggu sampai dapat panggilan. Yang sudah baca bab 5 tahu kalau saya masukkan berkas bulan Agustus. Karena COVID-19, saya baru dapat panggilan untuk sidang di tanggal 8 September 2020. Bagi saya, ini sidang pertama, namun ternyata ini adalah sidang ketiga dari keseluruhan persidangan. Sidang pertama dan kedua hanya dihadiri kuasa hukum saya, dan dari pihak tergugat (istri) tidak ada yang perlu dilakukan. Abaikan semua panggilan pengadilan. Tapi diingat ya, ini hanya kalau kedua belah pihak memang sepakat untuk bercerai baik-baik dan memang tidak ada yang disengketakan, termasuk pembagian harta. Cukup salah satu pihak saja yang perlu hadir ketika dipanggil pengadilan.

Nah, untuk persidangan ini, saya harus membawa dua orang saksi yang memang mengetahui persis tentang prahara rumah tangga saya. Sidang saya dilaksanakan di Pengadilan Negeri Jl. Arjuno Surabaya. Itu tinggal datang saja, lalu... menunggu sampai dipanggil. Ini bisa berlangsung seharian: saya mestinya dijadwalkan pukul 09.00 oleh pengacara saya, tapi akhirnya baru sidang sekitar pukul 14.00. Selama sidang, ngapain saja? Well, sejujurnya, ini agak konyol, karena pengacara saya akan menanyai saksi-saksi. Lha berat sebelah dong? Masa pengacara sendiri nanyain saksi sendiri? Ya itu yang terjadi di persidangan saya 😁 hanya ada tiga pertanyaan yang diajukan karena hakimnya sendiri sudah capek, setelah itu saya diminta menunggu sebentar, untuk dibacakan bahwa sidang ditunda kembali dua pekan untuk dibacakan putusan. Tapi, saya tidak perlu hadir di sidang putusan tersebut.

Sudah, gitu aja? Yes. Cukup mudah ya?

Untuk penduduk Surabaya, informasi tentang persidangan di PN bisa dicek di https://sipp.pn-surabayakota.go.id/, tinggal masukkan nomor perkara saja. Ini contoh info yang bisa didapat di sana; untuk kasus perceraian nama kedua belah pihak disamarkan kok, jadi tenang saja.

Ini adalah tabel agenda persidangan. Bisa terlihat di sini, karena COVID-19, sidang saya sempat ditunda dua pekan.

Yang ini tabel riwayat perkara. Saya nggak ngerti istilah hukum sih, tapi minutasi itu kalau nggak salah artinya pemberkasan putusan. Jadi, aslinya keputusan dari sidang perceraian saya sudah keluar tanggal 22 September 2020. Cuma, setelah itu entah apa yang terjadi, birokrasi apa saja yang terjadi di dalam PN, sehingga yang katanya pengacara saya normalnya saya akan menerima salinan putusan pengadilan dalam dua pekan, akhirnya molor sampai pertengahan November 2020. Hampir dua bulan! Amat disayangkan bahwa sistem daring ini tidak terlalu efektif memangkas birokrasi pengadilan.

Yang saya terima dari PN ada dua berkas. Yang pertama adalah surat pengantar putusan pengadilan ke Dispenduk capil alias pencatatan sipil. Yang kedua adalah salinan putusan pengadilan itu sendiri (punya saya dua belas halaman). Simpan baik-baik dokumen ini, kalau perlu difoto kopi minimal dua salinan. Satu salinan untuk dilegalisir ke PN yang mengeluarkan, satunya untuk sekedar arsip saja.

Kenapa harus dilegalisir? Nah, langkah berikutnya, setelah oleh PN dinyatakan cerai, maka kita perlu mengurus ke catatan sipil. Untuk warga Surabaya, ini gampang banget ternyata. Tinggal buka aplikasi Klampid punya Dispendukcapil Surabaya. Nggak perlu unduh apa-apa, langsung saja klik ke https://klampid.disdukcapilsurabaya.id/. Registrasi dulu menggunakan NIK, bikin username dan password yang diinginkan, aktivasi akun, lalu masuk deh. Sebisa mungkin validasi akun dulu dengan mengunggah tanda tangan. Kalau sudah, di dashboard ada menu Permohonan Akta Perceraian, tinggal pilih menu itu dan ikuti petunjuknya. Jelas banget kok.

Pengisiannya juga mudah. Tergantung yang ngajukan siapa, masukkan NIK-mu dulu, baru masukkan NIK mantan pasangan. Nanti nama dan informasi lain akan langsung dimunculkan. Berikutnya, tinggal isi data yang diminta, seperti nomor akta perkawinan, tanggal diterbitkannya, alasan perceraian, nomor surat putusan pengadilan, dan lain-lain. Ambil saja dari dokumen yang sudah dimiliki, pastikan benar.

Di tahap terakhir, Klampid nanti akan minta beberapa dokumen yang harus dipindai dan dijadikan satu PDF, jadi siapkan dokumen-dokumen ini:

  • Kutipan akta perkawinan catatan sipil. Tidak ada keterangan sih milik siapa (kan ada dua salinan tuh, satu punya suami dan satu punya istri), jadi paling aman masukkan keduanya saja. Dugaan saya sih, cukup satu salinan saja sesuai yang mengajukan (suami atau istri).
  • Akta kelahiran. Sama, mending masukkan punya suami dan istri saja.
  • Surat pengantar pengadilan. Gunakan milik sendiri.
  • Kartu keluarga. Lho, kalau belum ngurus, gimana? Don't worry, saya juga ga punya KK sendiri karena toh umur perkawinan saya cuma tiga bulan. Yang ini ternyata nggak diperiksa 🤭
Dokumen-dokumen ini mungkin daftarnya berbeda ya, jadi mending langsung isi saja datanya di Klampid bagian permohonan akta perceraian. Dokumen yang diminta akan diberitahukan di bagian bawah halaman.

Setelah selesai, nanti kita akan dapat e-kitir. Unduh dan cetak sekali, karena ini wajib dibawa ke Dispendukcapil waktu mengambil akta cerai nanti. Baca juga e-kitir tersebut, karena memuat dokumen yang harus dibawa saat pengambilan akta cerai nanti. Apa saja dokumennya?

  • Pas foto diri sendiri 3x4
  • Salinan putusan cerai dari PN (termasuk surat pengantarnya)
  • Kutipan akta perkawinan milik sendiri

Nah, ini ada perbedaan dikit dengan informasi dari petunjuk di website maupun ketika kita nanti dikontak orang Dispenduk, jadi siapkan dokumen-dokumen ekstra berikut. Mending disiapkan daripada nanti ditolak waktu mengambil.

  • Fotokopi legalisir surat pengantar dari pengadilan
  • Fotokopi legalisir salinan putusan pengadilan
  • Fotokopi akta lahir diri sendiri
  • KTP asli
  • Fotokopi legalisir KK. Kalau pengalaman saya yang belum punya KK sendiri, ternyata tidak dicek oleh Dispenduk, bahkan saya cuma bawa fotokopi KK ayah (tapi sudah legalisir). Legalisir KK dulu di kecamatan (atau kelurahan, lupa), tapi sekarang di Klampid bisa mengajukan.

Dua dokumen pertama (legalisir surat pengantar pengadilan dan salinan putusan pengadilan) bisa dimintakan legalisir ke pengadilan yang mengeluarkan dokumen tersebut. Saya mengurusnya ke Pengadilan Negeri Surabaya di jalan Arjuno. Mengurusnya sangat cepat dalam masa pandemi ini, disediakan loket khusus untuk legalisir dengan jaminan satu jam selesai. Punya saya? Hanya 15 menit 😀

Kalau semua dokumen-dokumen sudah siap (baik asli maupun fotokopi), perhatikan status permohonan di Klampid. Kalau nomor HP yang kita daftarkan ada di WA, nanti kita akan di-WA Disdukcapil seperti ini.


Enak ya? Setelah itu, saya di-WA petugas Dispenduk untuk janjian dulu mau ambil kapan, berhubung masa pandemi. Silakan janjian, lalu pada waktu yang telah ditentukan datang ke gedung Siola. Bilang saja mau ke Dispenduk untuk mengambil akta cerai, sudah janjian dengan siapapun yang WA kita. Lalu naik ke lantai 3, cari lokasi Dispendukcapil. Ini gampang ditemukan dari eskalator: tinggal ikuti papan petunjuk Dispenduk dan cari ruangan Pencatatan Sipil (ada di sebelah kiri). Nanti tinggal bilang ke petugas mau ambil akta cerai, lalu serahkan semua dokumen yang diminta. Kita tinggal tanda tangan, lalu akta cerai akan diberikan dalam bentuk kertas HVS A4 80 gram. Ada QR code-nya, bisa dicek nantinya untuk keaslian, jadi sudah tidak perlu dilegalisir lagi. Berkas digitalnya nanti akan dikirimkan ke kita kalau sudah selesai dicetak (perhatikan status di Klampid).

Langkah berikutnya adalah mengganti status di KTP dan KK. Semuanya juga tinggal dilakukan di Klampid. Untuk KTP, nanti yang baru akan dikirimkan ke alamat rumah. KK tinggal dicetak sendiri. Saya belum melakukan ini sih, tapi harusnya pilih menu Pemutakhiran biodata dulu, mengisi perubahan status dari kawin jadi cerai hidup, lalu tunggu diproses. Baru setelah itu kita bisa cetak KTP dan KK.

Mudah ya ternyata mengurus akta cerai di Surabaya? Semoga tulisan ini bisa membantu teman-teman yang kebetulan menghadapi nasib yang sama seperti saya.

Oh ya, ini harus dilakukan secara mandiri oleh kedua belah pihak ya. Jadi, mantan pasangan kalian juga harus melakukan langkah-langkah yang sama, tapi menggunakan data dan dokumennya sendiri. ya kecuali mereka mau menunda mengurus (mungkin karena malas), tapi in the end kalau mereka mau menikah lagi, akta cerai mutlak diperlukan karena status kita sekarang adalah cerai hidup.

Selamat menikmati kebebasan baru! Bagi saya, ini belum usai, karena masih ada pengurusan anulasi perkawinan di Gereja Katolik. Doakan lancar yah!

Senin, 17 Agustus 2020

Bab 5: Perjuangan menuju hidup baru

Sedikit pembaruan tentang kasus saya yang sedang berjalan ini.

Ya, saya akhirnya memasukkan kasus saya ke Pengadilan Negeri. Biayanya? Kebetulan saya dapat "murah," 16 juta rupiah. Menurut kuasa hukum saya, harga segitu terbilang standar untuk non-Muslim, bahkan biasanya lebih tinggi lagi. Kenapa? Yah, tidak perlu ditutup-tutupi, negara kita ini sangat berat sebelah pada umat Muslim. Umat Muslim yang bercerai diurus oleh Pengadilan Agama, dan biaya yang harus dikeluarkan sekitar 3,5-5 juta saja. Kalau mengurus sendiri, bisa sejutaan, walaupun bisa memakan waktu lebih lama jika tidak tahu caranya.

Jadi, sekali lagi, bagi kalian yang kebetulan membaca blog ini sebelum menikah: Pertimbangkan masak-masak pilihanmu. Pernikahan itu bukan main-main. Jangan pernah terbersit keraguan sedikit pun di benakmu. Kamu tidak ingin pernikahanmu juga berakhir di meja hijau; biayanya pun tidak sedikit.

Besok semestinya adalah hari bahagia bagi saya, karena sudah dua tahun berlalu sejak pengukuhan janji nikah itu. Namun, apa yang terjadi? Besok justru menimbulkan kenangan pahit bagi saya. Untungnya tahun lalu saya sudah menghapus semua kenangan di Facebook terkait hari esok; arsip foto digital pun sudah dihapus. Kebetulan saya nemu flash disk yang isinya foto-foto tersebut; langsung saya format dan lakukan shredding supaya tidak bisa dikembalikan lagi.

Seperti sebuah lagu yang dipopulerkan oleh Steps di era 90-an:

Some things are better best forgotten.

Mohon dukungannya agar proses hukum ini dapat berjalan lancar. Kata kuasa hukum saya, jika semuanya lancar, dalam tiga bulan surat cerai saya sudah keluar. Barulah setelah itu saya bisa mengajukan anulasi perkawinan ke Gereja.

Sampai update berikutnya.

Sabtu, 02 Mei 2020

Bab 4: Kehampaan. Pemulihan. Perjuangan. Penantian.

Sebenarnya kisah Clara sudah selesai di bab sebelumnya. Mulai bab ini, aku akan bercerita tentang kehidupanku setelah berpisah dengannya. Betapa sulit perjuangan yang harus kutempuh sejak saat itu. Betapa inginnya aku mengakhiri hidup untuk mengakhiri semuanya.

Namun, di sinilah aku sekarang, menuturkan kisah ini.

Sejak keputusanku membatalkan pernikahanku, aku tinggal di rumah untuk memulihkan luka batinku, walaupun tidak terlalu lama. Selama masa itu, kubiarkan dia mengambil barang-barangnya yang masih ada di apartemen. Karena suatu hal, keluargaku harus mengungsi ke apartemenku. Tentunya aku merasa senang karena akhirnya ada teman di tempat yang mulai kuanggap sebagai rumahku, namun tetap saja ada yang menghilang. Sekarang aku harus bermain game sendirian (walaupun memang sih sewaktu menikah aku pun juga mulai bermain sendirian). Sesekali aku bermain board game dengan rekan-rekan kerjaku. Di masa-masa awal itu, hanya beberapa saja rekan kerjaku yang sangat kupercaya yang kuceritai tentang kisah hidupku, terutama yang sedang merencanakan pernikahan. Aku tidak ingin dia ragu-ragu akan pernikahannya hingga harus mengalami nasib yang sama denganku. Untungnya, hingga saat ini, dia mengaku bahagia dengan pernikahannya. Setelah masalah mulai mereda, keluargaku kembali ke rumah sementara sepupu dan keponakanku ikut tinggal di apartemen untuk menemaniku, hingga kini.

Kehidupan sehari-hariku cukup banyak disibukkan dengan pekerjaan, walaupun aku mulai mengurangi bekerja di rumah. Aku juga mulai kembali aktif dengan kegiatan Gereja, yaitu mengikuti paduan suara. Di bulan-bulan awal, mamaku terutama menutup rapat masalahku ini, sehingga aku dengan terpaksa pun harus mengikuti menjaga rahasia jika ada yang bertanya ke mana istriku. Tentunya, aku sendiri sudah tidak lagi berhubungan dengan Clara. Facebook-nya ku-unfollow (tapi masih belum ku-block, karena aku masih harus membuktikan kecurigaanku antara Clara dan Larry, yang sayangnya tidak pernah terbukti), Line-nya ku-mute, dan kebetulan sekali pekerjaanku tidak mengharuskan berhubungan dengannya. Seluruh akun non-esensial dengannya kublokir: di Guild Wars 2, Discord, dan entah apa lagi. Aku mengeluarkan Clara dari tim proyekku, dan pekerjaannya kuanggap tidak pernah ada (toh dia pun tidak pernah mengerjakannya). Akunnya kuhapus dari forum, walaupun demi integritas semua tulisannya masih tetap kubiarkan di sana (walaupun sekali-kali aku menyesal dan ingin menghapusnya saja). Intinya, banyak hal yang kulakukan agar aku tidak lagi mengenangnya dan membangkitkan kenangan buruk itu.

Namun, tentu saja, selama status kami belum dibereskan, aku tidak bisa sepenuhnya lepas darinya.

Di awal-awal, sesekali aku masih bertemu dengannya di kantor, walaupun ia selalu mengacuhkanku atau berpura-pura tidak melihatku. Hanya sekali-dua kali aku bertemu dengannya, yaitu saat aku harus meminta kunci apartemen darinya. Setelah itu, aku sama sekali tidak pernah bertemu dengannya, bahkan di acara kantor yang besar sekali pun. Beberapa anggota keluargaku yang lain, entah ceceku, sepupuku, atau ART-ku, pernah melihat dia berjalan-jalan, baik sendirian maupun dengan cowok lain. Bagiku sih, ya aku tidak peduli lagi. Itu sudah haknya untuk mencoba mencari pendamping lain, walaupun semestinya tentu saja ia masih melanggar sumpah suci itu karena statusnya masih terikat sebagai seorang istri. Status yang pastinya tidak lagi dia pedulikan.

Beberapa kali, homili Romo sempat menyinggung masalah pernikahan, dan hampir dalam kesempatan itu pula aku dipenuhi amarah. Bahkan pernah, aku merasakan, bahwa jikalau memang itu mau Gereja, maka untuk apa lagi aku harus mengikuti Gereja. Jika sebuah pernikahan yang rapuh dan penuh prahara harus dipertahankan, di manakah kebahagiaan itu? Namun untungnya, bisikan Roh Kudus lebih kuat, bahwa itulah bisikan setan, yang ingin aku berpaling dari Tuhan. Aku mungkin bukan orang yang taat beragama, bahkan tentu saja aku penuh dosa, namun sejak kejadian ini, semuanya sudah kuserahkan pada Tuhan, sama seperti teladan Bunda Maria yang menerima bahwa ia akan mengandung Yesus dari Roh Kudus. Biarlah semua terjadi atas kehendak-Nya.

Untuk alasan itu pula lah, kadang-kadang aku pernah merasakan titik terendah dalam hidupku karena masalah ini. Di waktu-waktu tersebut, aku bisa begitu sedih dan terpukul atas kenyataan ini, bahwa hanya pernikahanku yang gagal dari rekan-rekan kerjaku. Beberapa kali pernah terbersit pikiran untuk mengakhiri hidup, entah dengan pisau atau melompat dari balkon apartemenku. Namun, sekali lagi Roh Kudus membimbingku, atau mungkin sekedar logika pendekku yang berjalan. Untuk apa kau mengakhiri hidup untuknya? Justru dengan demikian dia akan menang! Tidak ada gunanya. Hidupmu jauh lebih berharga: pengabdianmu pada masyarakat masih dibutuhkan. Orang tuamu masih perlu dirawat. Dengan pemikiran inilah, aku masih hidup hingga saat ini. Aku tidak lagi peduli pada masa depanku; semua perhatianku kini kucurahkan pada pekerjaanku dan orang tuaku.

Walaupun memang, kenangan itu tidak pernah akan hilang. Sesekali ia akan muncul tanpa diundang, dan begitu sulit untuk mengusirnya pergi.

Satu hal yang paling tidak meringankan bebanku adalah aku sudah mendapatkan kepastian bahwa pernikahanku dapat dibatalkan. Alasan-alasan yang sudah kupaparkan dianggap sangat kuat untuk melakukan pembatalan tersebut. Aku tidak akan membeberkan alasannya apa dan bagaimana caranya untuk mengurus pembatalan pernikahan, dan aslinya Gereja melarangku untuk membicarakan hal ini. Aku hanya bisa menyampaikan, ketika memang sudah tidak ada harapan lagi, maka perpisahan resmi masih dimungkinkan.

Bagaimana dengan Clara sendiri? Salah seorang sahabat baikku sesekali melihat apa yang dia lakukan, dan hingga hampir dua tahun ini berlalu, tidak ada perubahan. Clara sudah tidak lagi bermain dengan Larry (aku tidak bisa memastikan karena mereka tidak secara eksplisit menyatakan hal itu, namun sekitar pertengahan tahun 2019 aku sempat melihat Clara say goodbye ke DN M). Tidak ada lagi postingan permainan di Facebook Clara, namun dia masih terjebak pada kebiasaan lamanya: membagikan kutipan-kutipan egoistik yang semuanya berpusat pada aku, aku, dan aku. Kutipan yang membenarkan semua yang dia lakukan, baik di masa lalu maupun masa kini. Terkadang aku masih merasa kasihan pada orang-orang seperti Clara yang terjebak pada lingkaran itu; tidak dapat menerima dan mengakui kesalahan yang sudah mereka perbuat. Namun, tentunya Clara seharusnya sudah dewasa; masalah apakah ia memilih untuk bersikap seperti anak kecil, yang semuanya berpusat pada aku aku dan aku, yang segala keinginannya harus dituruti, hanya Tuhan yang tahu.

Aku sendiri? Well, aku masih berjuang habis-habisan menghadapi kemelut ini. Aku kehilangan minat bermain game, karena tiap kali aku bermain, entah terkadang aku masih bertemu dengan dirinya (walaupun tidak langsung) atau kegiatan bermain itu malah memunculkan kembali kenangan atasnya. Dia sendiri mungkin juga mencoba mencari obat atas luka hatinya dengan semakin giat bermain, namun aku sudah hafal dengan tabiatnya. Caranya untuk melupakan masalah duniawi dengan bermain game hanya malah menjerumuskan dirinya lebih dalam. Biasanya, dia hanya akan memiliki minat berlebih pada suatu game untuk beberapa saat saja, sebelum akhirnya mulai jenuh atas game tersebut dan mulai mencari game lain. Demikian seterusnya: siklus yang terus berulang, dari sejak aku menumbuhkan rasa padanya sampai saat aku ingin melupakannya. Sementara itu, aku juga mencoba mencari game yang bisa memuaskan hatiku dan menumbuhkan gairahku seperti dulu, dan mungkin aku telah menemukannya setelah setahunan ini. Memang, terkadang kenangan itu kembali lagi, namun seiring berjalannya waktu, mungkin aku akan terbiasa dan pada akhirnya bisa mengabaikan kenangan tersebut.

Untuk saat ini, karena wabah COVID-19, tentu saja aku tidak bisa mengurus statusku. Gereja mengharuskan aku bercerai secara sipil terlebih dahulu; biayanya cukup besar, 20 juta lebih. Aku belum punya dana sebanyak itu. Mungkin ini salah satu cara alam untuk membantuku agar aku bisa sembuh terlebih dahulu selagi menyiapkan dana. Agar ketika waktunya tiba, aku siap untuk melepaskan masa laluku dan melangkah maju.

Ke masa depan yang lebih cerah.


Sabtu, 18 April 2020

Bab 3: Prahara. Penyangkalan. Pemberontakan. Pengkhianatan. Perpisahan.

Nah, terakhir aku bercerita bahwa di balik seluruh tantangan yang melanda kisah cintaku dengan Clara sampai sebelum pernikahan, semuanya akhirnya terwujud pada tanggal sakral, yaitu saat aku melangsungkan sakramen pernikahan (atau perkawinan menurut Gereja Katolik). 18 Agustus 2018. Sebuah tanggal yang tidak akan pernah aku lupakan.

Seperti bayangan semua pengantin muda, semestinya ini adalah masa-masa yang menyenangkan, ya kan? Bulan madu, malam pertama, dan lain-lain. Apalagi kami sebenarnya ya sudah merencanakan dan membayangkan apa yang akan kami lakukan bersama, utamanya di nge-game sih. Bulan madu sepakat ditunda dulu karena nggak ada biaya, selain si Clara sedang nabung untuk konser idamannya ke Korea tahun 2020. Sepertinya batal karena wabah COVID-19 ini, hehehe...

Namun, apa yang terjadi sehingga sampai akhirnya aku harus menulis blog ini? Apa masalah terbesarnya sehingga perpisahan ini akhirnya terjadi?

Ini kisahnya. Kisah ini separuh kuambil dari kronologi yang aslinya sudah kusiapkan untuk keperluan perceraian sipil maupun di Gereja, namun terpaksa tertunda karena wabah. Dan kalau kau pikir masa wabah ini menjadi masa refleksi bagi kami berdua...?

Simak terus hingga akhir.

September 2018

Hari demi hari, aku mulai merasakan sesuatu yang aneh dari Clara. Kelasku memang banyak yang malam sehingga aku jarang bisa pulang bareng Clara, sehingga untuk urusan makan malam biasanya aku yang membelikan. Aku akan kontak dia dulu mau makan apa. Waktu itu masih belum terpikir untuk nge-Grab sih, jadi selagi pulang, biasanya aku akan lewat berbagai macam tempat makan (keunggulan rumah dekat kampus, hehehe) dan menawari dia mau makan apa. Well, bukannya mestinya istri yang menyediakan suami makan ya? Kalau secara tradisional, iya, tapi ya sudah lah, namanya juga bagi tugas. Toh dia sekali-kali juga membelikan makan malam duluan.

Namun, satu hal yang kuamati selalu adalah, dia selalu berada di depan komputer tiap kali aku pulang. Ya kadang-kadang aku disambut sih, tapi lebih seringnya dia sudah asyik bermain DN M. Wow. Memang di pekan pertama dia masih mau aku ajak main GW 2, dan di pekan kedua bahkan kami sempat main board game bersama. Tapi, selagi main board game itu, dia kadang-kadang gelisah melihat smartwatch-nya. Ya, dia punya smartwatch, sejak aku sempat memberinya health band yang agak rusak sehingga dia beli smartwatch, dan notifikasi di HP-nya dimasukkan ke smartwatch. Ini sih salah satu alasanku tidak membeli smartwatch, karena pernah mencoba seperti itu dan aku justru terganggu dengan banyaknya notifikasi yang masuk ke smartwatch. Sejak HP-ku punya fitur do not disturb, aku selalu menyalakan mode itu secara otomatis mulai pukul 22.00, dan biasanya tidak akan ngecek HP kecuali kalau grup kerjaan masih agak ramai. Selain itu, aku akan membiarkan diriku bersenang-senang sendiri, dengan main game. Yang tentu harapannya main bersama Clara.

Nah, balik lagi ke main board game itu. Sesekali dia gelisah, dan pada jam tertentu (kalau tidak salah pukul sepuluh malam), dia bangkit dan minta izin untuk mulai war (atau apalah) di DN M, karena dipanggil. Katanya sih sebentar saja. Ya sudah lah. Eh, panggilan itu tidak hanya sekali, tapi sejam kemudian ada lagi. Walaupun akhirnya board game itu selesai sih memang, tapi aku merasa agak kurang fun karena ada gangguan itu.

Dan percaya atau tidak, sampai 14 hari pertama ini, tidak pernah sedikit pun aku melakukan hubungan badan dengannya. Ingat, malam pertamanya ngapain? Main DN M. Lalu, kebutuhan seksualku bagaimana? Yaaa... hanya pas saat dia pergi untuk melakukan aktivitas kerohanian (tiap Senin ada semacam doa bersama di selnya, dan Jumat juga ada ibadat malam), aku memuaskan hasrat seksualku dengan melayani diriku sendiri. Ironis ya? Yang satu pergi ibadah, yang satu memuaskan nafsu duniawi. Kalian mungkin bertanya, ya diajak dong kalau kepingin gituan. Well, pernah sih, bahkan aku pernah bermesraan dengannya, tapi tiap kali aku mau menyentuh bagian-bagian tertentu, dia kegelian, dan malah marah ketika aku meneruskan dan langsung pergi. Lha gimana mau lanjut ke hubungan intim? Memang kami punya kesepakatan bahwa kami akan menunda dulu memiliki momongan, tapi bukan berarti hari-hari tidak diisi dengan hubungan intim kan? Bukankah itu kebanyakan yang dicari oleh pasangan yang "kebelet" nikah, supaya kawinnya jadi halal? Di kursus pranikah diajari kok caranya untuk menunda kehamilan secara alami (karena Katolik melarang pakai kondom). Aku mengamati dengan serius penjelasan yang diberikan saat itu. Dia? Tidur di pundakku.

Hari-hari berikutnya, permainannya di DN M jadi semakin intens. Sehari-hari dia baru selesai main sekitar tengah malam, bahkan pernah sampai pukul satu dini hari. Hari kerja lho itu. Masuk kerja jam berapa? Pukul delapan pagi. Ya kalian boleh lah beralasan bahwa itu cukup waktunya untuk tidur, namun untuk ke tempat kerja saja butuh waktu 20 menit untuk berjalan kaki, bahkan lebih. Berarti dia harus bangun pukul tujuh pagi. Cukup kah tidur hanya enam jam? Menurutku kok tidak. Sudah sering dia cerita, kalau pagi ngantuk dan harus didorong dengan secangkir kopi. Bagiku, itu kok bukan kebiasaan bagus. Karena nantinya badanmu akan lebih lelah lagi. Anehnya, dia langsung segar bugar kalau dipanggil main oleh guild-nya. Tiap pukul delapan malam, panggilan itu ada, sehingga dari pukul delapan malam hingga seselesainya dia selalu duduk manis di depan komputer, bercanda tawa bersama teman-temannya, dan bukan dengan suaminya.

Pertengkaran pertama

Maka, satu bulan kemudian, setelah aku merasa bahwa ini sudah kelewatan, terjadilah pertengkaran pertama. Pada waktu itu, rumah pun tidak pernah disapu, sehingga rambut rontoknya ada di mana-mana, debu di mana-mana, bahkan got pun pernah buntu oleh rambut rontoknya. Lalu, siapa yang beres-beres rumah? Aslinya aku tidak keberatan melakukan pekerjaan rumah, tapi secara tradisional bukankah itu tugas istri? Mengapa Clara tidak punya kesadaran untuk menjaga kebersihan rumahnya? Awalnya, aku menyiapkan dulu hal-hal yang mau kubicarakan di sebuah notes kecil, bekas suvenir resepsi yang sisa banyak. Aslinya itu mau kubicarakan empat mata dengannya.

Suatu hari, aku melihat posisi notes itu berubah (ya, aku paling sensitif dengan letak suatu benda, maka biasanya senewen kalau posisinya berubah dan bukan aku yang mengubah posisi benda itu). Usut punya usut, ternyata dia sudah membaca notes itu, bahkan membalas di dalamnya. Intinya:

  • Kamu ga pernah nyuruh aku untuk membersihkan rumah.
  • Masalah hubungan seks, jujur aku masih takut.

Ada solusi kah? Sebagai kepala rumah tangga yang baik (cieee, hahaha), tentu aku ya berusaha mencari jalan tengah. Akhirnya disepakati, ya sudah lah, mulai sekarang ada pembagian tugas yang jelas. Aslinya aku merasa, ini kok jadi militeristik sih? Bukannya seharusnya membersihkan rumah itu inisiatif sendiri? Yah, mungkin norma-normaku sudah ketinggalan zaman; di masa kini, namanya sadar diri beres-beres rumah itu langka. Apalagi kalau yang nyadar cowok. Ngaku aja deh, iya kan? Anyway, akhirnya ada kesepakatan. Clara masih menuntut supaya dia tetap bisa main dengan guild-nya. Oke, tapi sebelumnya main dulu dengan suamimu. Maka, jam 8 malam, ada "we time". Setelah itu, "me time". Masalah hubungan seks, tidak ada solusinya.

Looks good? Pekan pertama, ya. Pekan kedua?

Clara balik lagi ke kebiasaannya. No more we time.


Oktober 2018

Ada dua hal yang terjadi pada bulan ini.

Pertengkaran kedua

Aku tidak terlalu ingat persisnya kapan, sepertinya sih awal bulan Oktober 2018. Orang tuaku mengajak pergi ke Puhsarang Kediri untuk berdoa. Tentu saja Clara juga diajak. Reaksi pertamanya? Harus ta? Astaga... bahkan di awal pernikahan dulu aku mau diajak ke keluarga papamu yang aku tidak kenal sama sekali... sekarang ini padahal diajak hanya keluargaku dan keluarga koko iparku. Kamu menolak?

Walaupun bukan ini alasan persisnya terjadi pertengkaran ini (aku tidak ingat sama sekali penyebabnya apa, tapi semestinya karena kebiasaan Clara yang kembali seperti dulu), pada pertengkaran ini terdapat beberapa fakta baru yang muncul.

Clara terjebak di masa lalu.

Muncullah pengakuan bahwa dia tidak siap menjalani kehidupan pernikahan. Dia merasa, setelah menikah ini, dia justru terkungkung, terpenjara. Lho karena apa? Wong aku juga tidak melarang dia pergi ke mana-mana; dia tetap boleh melaksanakan kegiatan keagamaannya seperti biasa. Mau pergi dengan teman-temannya yang tidak aku kenal pun, juga boleh. Apa hanya karena aku tidak suka dengan caranya bermain? Ini kehidupan berdua lho, bukan lagi kehidupan masing-masing. Kehidupan aku dan Clara saat itu seakan-akan seperti dua orang yang kos bersama, tinggal bersama, tidur di satu ranjang yang sama, tapi bukan suami istri. Lebih seperti kumpul kebo. Lalu maumu apa?

Well, dia tidak bisa menjawab pertanyaan itu. Dia juga tidak tahu apa yang bisa membuatnya bahagia. Katanya dia terjebak di masa lalu yang membahagiakan, namun ketika kukejar lebih jauh masa apa itu, dia tidak bisa menjawabnya. Jadi, pada tahap ini aku memiliki kesimpulan bahwa Clara ini bukan orang dewasa, dan bahkan tidak mau menjadi dewasa. Ada sesuatu pada dirinya yang menyebabkan dia enggan untuk beralih dari masa lalunya itu. Maka, satu-satunya cara untuk membahagiakan dirinya adalah lari ke DN M, ke dunia maya, tempat teman-temannya bisa menerimanya apa adanya. Jadi suaminya tidak bisa menerimanya? I tried so hard and got so far...

Namun, pertengkaran ini berakhir dengan kemauan Clara untuk berubah. Da mau mencoba pelan-pelan untuk mencari tahu, apa sih yang sebenarnya dia inginkan. Aku juga memberinya PR: kualitas apa sih yang tidak ada di diri suamimu tapi dimiliki teman-temanmu? Tentunya ada alasannya sehingga dia sampai lebih memilih teman-temannya dibandingkan suaminya, ya kan? Sampai itu terpecahkan, aku percaya masalah ini tidak akan pernah berakhir bahagia.

Dan ternyata masalah ini justru bertambah semakin rumit.

Wanita Panggilan

Maaf kalau judul ini terdengar kasar. Jangan bereaksi negatif dulu. Baca dulu mengapa aku sampai menyebut Clara wanita panggilan.

Menjelang akhir bulan, mendadak Clara bercerita bahwa guild-nya mengadakan gathering di Bandung. Tentu saja ia diundang. Kalau misalnya ada teman dari Surabaya yang menemaninya dan kukenal sih mungkin aku OK-OK saja ya. Masalahnya, tidak ada satu pun teman bermainnya yang kukenal, termasuk Larry, bahkan teman-teman Clara pun aku tidak kenal. Mungkin ini salah satu kesalahan terbesar Clara dengan tidak memasukkanku ke dunianya, sehingga semuanya ini terjadi. Kembali ke cerita gathering, yang mengejutkanku adalah dia akan pergi sendiri ke Jakarta, dengan tiket dan hotel dibayari, nanti ada dari Jakarta yang menjemputnya dan bersama-sama ke Bandung.

Say what???

Suami normal tentu saja tidak akan mengizinkan, ya kan? Lu siapa, berani-beraninya ngajak istri orang pergi sendirian? Setelah bingung beberapa hari, akhirnya aku memutuskan untuk melarangnya berangkat. Kalau aku mengizinkan, berarti aku mengizinkan Clara menjadi wanita panggilan. Kalau terjadi apa-apa, tentu saja aku yang akan disalahkan. Suami macam apa itu tidak tegas? Solusi lainnya sebenarnya adalah aku ikut ke sana, tapi untuk apa? Untuk kemudian bengong melihat mereka tertawa-tawa bermain? Please deh...

Tentu saja, hal itu membuat Clara dongkol. Kami sempat diam-diaman selama beberapa hari, hingga akhirnya pada suatu malam dia luluh. Dia menangis sekeras-kerasnya, namun dia menerima argumenku dan laranganku. Tentu saja aku bersyukur pada Tuhan karena doaku diterima. Clara bahkan memberitahuku bahwa Larry akan berhenti berhubungan dengannya dan berhenti main, kemudian akunnya akan diberikan padaku. Bisa kalian bayangkan betapa girangnya aku. Akhirnya bisa main berdua, kali ini sah sebagai suami istri. Idaman para gamer, ya kan?

Sayang, itu kebahagiaan semu.

Besoknya, Clara bilang bahwa Larry galau karena teman-teman guild-nya melarang dia pensi. Akhirnya si Larry tidak jadi pensi. Jadilah mereka berdua kembali main.

Pertengkaran ketiga

Mungkin kalian sudah bisa menebak ke mana arah kisah ini. Dalam satu bulan terjadi dua pertengkaran? Yah, itulah yang terjadi.

Ada satu pertanyaanku yang tidak pernah Clara jawab. Kualitas apa yang ada pada teman-teman guild-nya yang tidak ada padaku? Ini pertanyaan sederhana, supaya aku bisa masuk ke dunia Clara, yang entah kenapa sejak DN M itu sulit sekali ditembus. Tidak ada jawaban bahkan sejak aku menanyakannya dua kali setiap bulan (ya, setiap bulan kami bertengkar).

Namun, muncul pengakuan bahwa dia menyukai diperintah Larry. Karena Larry tegas memberinya perintah-perintah. Kalau salah? Ya tinggal ketawa saja.

Tentu saja, dunia nyata tidak bekerja seperti itu. Masakan hubungan suami istri dilandaskan pada hubungan perintah-memerintah? Ma, nyapu! Ma, bersihin meja! Ma, cuci baju! Ini kan hubungan militerisme. Namanya sudah menikah, ada beberapa hal yang mestinya wajar dilakukan dengan kesadaran sendiri lah, misalnya membersihkan rumah. Aku nggak minta supaya dia meladeni aku di berbagai hal, malah dalam pernikahan kami ini relasi kami terbalik. Seakan-akan dia jadi suami pemalas dan aku ibu rumah tangga. Beneran lho! Siapa yang cuci piring? Aku. Siapa yang akhirnya menyapu dan mengepel rumah? Aku (Clara pernah bilang, dia tahan-tahan saja kok lantai ga disapu. Jorok!). Siapa yang mengambili rambut dari tutup got? Aku (padahal tentu saja yang paling banyak rambut nyangkut ya rambutnya). Nih ada beberapa contohnya. Foto-foto ini tidak direkayasa yah, boleh dicek sendiri meta-nya.

Ini segala macam sampah yang menutupi got kamar mandi. Tentu saja Clara terlalu jijik untuk mengambilinya secara rutin, padahal ini bikin air menggenang lama di kamar mandi.

Sampah menggunung yang tidak kunjung dibuang.

Debu sampai setebal ini...

Pernah sebulan lebih tidak disapu. Siapa yang akhirnya menyapu? Bapak rumah tangga, tentu saja.
Ada juga beberapa fakta baru yang entah relevan tidak. Clara mengaku dia tidak nyaman berbicara empat mata denganku. Dia lebih suka berbicara melalui media tidak langsung, seperti chat Line (ya, sejak menikah dia sudah meninggalkan Hangouts, dengan alasan bahwa webnya sangat lag ketika dibuka dari kantor. Tentu saja aku tidak percaya, karena Hangouts bisa dibuka dari Gmail.). Jadi gini, masa kamu tinggal berdua dengan pasangan hidupmu, tapi kamu nggak ngobrol langsung? Tapi lewat HP? Hidup sosial macam apa itu? Di tahap ini aku heran, ada ya orang yang sangat tergantung pada HP. Ternyata kecanduan HP itu ada. Dan di saat ini pun aku menyimpulkan, kecanduan game itu ada. WHO tidak mengada-ada. Kalian mungkin juga berpikir bahwa itu mengada-ada. Sekarang, inilah kisah hidupku, yang hancur gara-gara sebuah game.

Tapi tahukah kalian fakta lain yang terkuak dari pertengkaran ini?

Clara tidak lagi mencintaiku. Cintanya sudah hilang sejak enam bulan sebelum menikah. Waktu yang kurang lebih insidental dengan waktu dia berkenalan dengan Larry dan mulai bermain DN M dengan intens. Dia menyesal menikah denganku, karena saat itu dia dipaksa oleh keadaan untuk menikahiku.

Wow. Sebuah kenyataan yang, jujur saja, sangat menyakitkan. Lalu mengapa pada malam itu, dua bulan sebelum menikah, kamu menyanggupi untuk terus melangkah maju? Di sini, aku mendapat kesimpulan besar bahwa Clara ini masih kanak-kanak. Dia tidak dapat mengambil keputusan sebagaimana layaknya orang dewasa, sehingga tidaklah seharusnya mengambil keputusan untuk menikah.

Dan sejak itu pula, aku mulai mempertimbangkan sebuah opsi untuk membatalkan pernikahan ini. Seorang sahabat yang dengan setia mendengarkan segala keluh kesahku pun mulai menyarankan demikian, bahkan dia sudah mencari-cari apakah memungkinkan dalam Katolik (spoiler alert: it is).

Karena sejak saat itu, kehidupan pernikahanku terus jatuh ke jurang yang lebih dalam, penuh dengan kegelapan pekat, tanpa ada harapan untuk diperbaiki.

November 2018

Sejak pertengkaran ketiga ini, situasi di rumah menjadi sangat tidak kondusif. Aku sudah tidak lagi berbicara dengan Clara kecuali menanyakan mau makan apa (see? Kurang apa coba suami masih memikirkan istrinya mau makan apa padahal sudah bertengkar hebat seperti itu?). Dia juga seakan sengaja lebih keras berinteraksi dan tertawa-tawa dengan teman-teman DN M-nya, bahkan media sosialnya mulai dipenuhi kutipan-kutipan "manis" yang membenarkan dirinya. Bahkan sampai salah satu dosen, yang dulu adalah ketua program tempat Clara belajar, berkomentar. Kutipan seperti ini sangat toxic karena diawali I, I, dan I. Aku, aku, dan aku. Dunia orang dewasa tidak bekerja seperti itu. Kamu harus bisa membawa diri, karena kamu hidup di sebuah dunia sosial, sehingga tidak boleh egois dengan terus-menerus meminta aku. Dunia tidak lagi boleh terpusat pada aku. Komentar itu hanya di-like oleh Clara, tapi aku yakin itu tidak akan mengubah apa-apa. Hatinya sudah tertutup bagiku, dan aku pun mulai menutup hatiku untuknya.

Yang lucu, aku pernah sekali dengan sengaja menulis meme ini di Facebook. Ini tanggal 13 November 2018.

Gambar mungkin berisi: kemungkinan teks bertuliskan 'MELARIKAN DIRI DARI MASALAH DUNIA NYATA KE DUNIA MAYA DAN BERHARAP MASALAH ITU SELESAI DENGAN SENDIRINYA? TIDAK SEMUDAH ITU, FERGUSO ima.m'

Lebih banyak yang bereaksi terhadap post-ku ini. 20 reaksi, 4 bagikan. Sebaliknya, kalau Clara post quote, biasanya hanya satu-dua orang yang bereaksi. Tidak terlalu lama kemudian, Clara mengirim pesan lewat Line (atau yang lain, aku sudah lupa, arsipnya sudah kuhapus). "Itu buat aku ta? Kalau iya, ngomong ae langsung." Well, bukankah kamu juga melakukan hal yang sama? "Itu sesuatu yang menurutku benar kok, bukan buat kamu." Hahaha, cerdik dan culas sekali alasannya, dan dia melakukan itu berkali-kali. Aku hanya sekali lho. Apapun itu, aku tetap beranggapan dengan itu Clara sebetulnya sadar bahwa dirinya lari ke dunia maya untuk melupakan masalahnya di dunia nyata, makanya tersinggung.

Dan tentu saja, itu tidak menyelesaikan masalah. Jadi, kalian yang sering lari ke dunia maya dan berharap masalah di dunia nyata bisa selesai, jangan harap. Ini sebuah peringatan keras. Hadapi. Hanya dengan menghadapinya kalian akan berproses dan menjadi seorang dewasa.

Ya, kecuali kalian juga mau sama-sama terjebak di masa lalu seperti Clara...

Dan sehari setelahnya...

Pertengkaran keempat dan final

14 November 2018. Terjadilah pertengkaran lagi. Dan kali ini Clara berani melawan. Dia menuduhku tidak terbuka dan tidak pernah chat di Line. Ya iya lah, sekali lagi, kalau bertemu tiap hari, ngapain harus chat Line? Really? Tapi oke, kusanggupi permintaannya. Dia menuduhku tidak pernah memanggil namanya. Oh mau gitu? Oke, habis ini aku panggil nama.

Dan jujur saja, aku ketakutan waktu itu. Clara seakan-akan kesetanan. Tapi ya sudah lah, mau bagaimana pun aku masih berusaha menyelamatkan pernikahan ini. Aku masih tetap berkeyakinan bahwa pernikahan itu hanya sekali.

Syaratnya hanya satu.

Hentikan kegilaan game-mu. Keluar dari DN M, keluar dari grup Line-mu.

Clara melakukan hal itu, dan dengan "patuh" dia merekam segalanya dan menunjukkan bukti padaku. Seperti yang kalian sudah duga, cara ini justru membuat kami perang dingin sampai semingguan sebelum akhirnya aku membawa masalah ini ke orang tuanya. Awalnya, aku tidak mengajaknya, karena dia tidur, tapi aku sudah meninggalkan pesan. "Aku pergi dulu, tapi kamu tahu aku ke mana." Kalau tidak salah dia menjawab, "terserah, aku tahu kamu ke mana." Awalnya aku hanya berdua dengan mamaku menuju orang tuanya, dan kami berbicara dengan agak alot. Tentu saja orang tua Clara kaget dengan ceritaku, dan meminta Clara datang untuk mendengarkan cerita dari sisinya. Awalnya ayah Clara mendukungku, bahwa itu sudah kelewatan. Tapi tentu saja, insting orang tua pertama adalah membela anaknya, dan tidak adil kalau kisah ini dituturkan dari satu sisi. Maka, jadilah aku menjemput Clara di apartemen.

Tahu apa yang terjadi?

Clara siap dengan cerita versinya, yang sudah diramu sedemikian rupa sehingga aku yang salah. Misalnya, tiap kali aku pulang, aku tidak menyambutnya, padahal dia sudah menunggu-nunggu dengan kangen, bahkan langsung ke kamar dan tidak keluar-keluar setelah itu. Hei, siapakah yang tidak menyambut sewaktu ada yang pulang? Lagi pula, apartemenku tidak besar. Kalau kamu penasaran dengan apa yang dilakukan suamimu di kamar, ya ke kamar lah? Lihatlah suamimu itu ngapain. Tahu ini terjadi kapan? Tentunya saat perang dingin.

Lucu ya? Kisah perang dingin diceritakan supaya memberikan gambaran itulah yang terjadi selama ini, padahal itu hanya sepekan terakhir. Dari sini aku punya kesimpulan, Clara ini manipulatif. Dia berani menempuh segala cara untuk mendapatkan yang dia inginkan. Ini adalah sifat yang sangat berbahaya, karena kebenaran bisa dibelokkan.

Kisah lain? Dia berangkat berenang, dan aku tidak menemani. Again, itu terjadi di masa perang dingin. Aku juga tidak bisa berenang. Ya bisa sih menemani, tapi di saat kamu lagi perang dingin dengan pasangan hidupmu, mau kah kamu masih tetap menemaninya?

Kisah lain lagi, dia harus mengerjakan pekerjaan rumah (cuci piring) pukul dua belas malam. Eh, siapa yang membuat kamu mengerjakan pekerjaan rumah selarut itu? Bukankah karena kamu sudah bermain duluan mulai dari pukul delapan sampai tengah malam? Ya konsekuensimu sendiri dong. Ngapain kamu cuci piring tengah malam kalau aslinya kamu bisa melakukannya pukul delapan malam atau bahkan sebelumnya sebelum bermain? Berarti kamu tidak bisa menentukan prioritas hidup, ya kan? Karena bermain adalah prioritas pertama di atas segalanya.

Namun, again, itu adalah kisah yang terjadi di masa perang dingin. Semua kisah yang dia ceritakan benar adanya, namun terjadi karena kesalahannya sendiri. Namun, cerita itu diramu supaya terlihat aku yang salah. Licik kan? Tapi, tentu saja, orang tua lebih defensif pada anaknya sendiri, maka solusinya?

Aku yang disuruh berubah demi Clara.

Say again?

"Ya kamu dong yang harus menemani Clara berenang, di pinggiran aja ga pa pa."
"Ya kamu dong yang harusnya cuci piring."
"Ya kamu dong yang harus menemani Clara bermain. Hobi itu nggak bisa dipaksakan."

Oh oke, jadi di sini mataku benar-benar terbuka. Ternyata Clara pandai sekali menggiring opini sehingga bahkan orang tuanya pun dibutakan oleh permainan cerdiknya. Jadi, semuanya harus berpusat padanya. Jelas aku menentang.

Karena jalan buntu dan saat itu sudah malam, akhirnya kami berpisah rumah.

Esok paginya, dia mengabari kalau dia kembali main DN M, kembali berhubungan dengan teman-temannya, aku tidak bisa melarangnya. Oke, fine. Pada tahap ini, aku memutuskan bahwa pernikahan ini selesai sudah. Tidak ada lagi yang patut dipertahankan.

Terutama karena kejadian beberapa hari setelahnya. Sebuah kejadian yang nyaris meledakkan amarahku.

Aku tidak ingat persisnya kapan, tapi Clara meminta izin untuk mengambil beberapa barangnya. Aslinya aku ingin membiarkan dirinya mengambil sendiri, namun oleh mamaku aku disuruh untuk berjaga di apartemen, supaya aku terlihat masih punya itikad baik untuk rujuk.

Apa yang terjadi?

Begitu pintu terbuka, papanya dengan gagahnya masuk. Aku mau masuk ke kamar supaya tidak mengganggu Clara saat beres-beres barang, namun dengan angkuhnya papanya memanggilku dengan menunjuk tangan. Begitu tidak sopannya untuk seorang tamu! Lalu, selama dua jam yang begitu menyiksa berikutnya, aku diceramahi oleh papanya, dengan keyakinan yang tentu saja aku tidak bisa terima (papanya beragama Budha). Aku tidak bereaksi selama itu, hanya mengiyakan saja, namun dalam hati aku buang jauh-jauh segala nasihatnya. Kau sendiri tidak akur dengan istrimu, bahkan kau sudah "bercerai" di rumah itu; sekarang kau menasihatiku tentang pernikahan? Get real! Untungnya, Tuhan masih baik. Melihat aku menderita, Dia memanggil angin kencang (waktu itu memang mendung gelap) sehingga tempat handukku terjatuh, dan handukku jatuh mengenai air kotor. Akhirnya aku punya alasan untuk menghentikan kuliah itu dan mengurus handukku. Selama itu Clara tidak berkata apa-apa, tapi aku yakin dalam hatinya dia tertawa akan segala yang terjadi. Setelah semuanya selesai, mereka bahkan tidak pamit. Jadi begitu rupanya perlakuan mereka terhadap tuan rumah.

Ini salah satu faktor yang membuat aku semakin yakin, aku tidak lagi layak memperjuangkan Clara untuk tetap menjadi istriku. Clara sudah melukai hati terlalu banyak orang; tidak hanya hatiku, namun juga hati orang tuaku. Dia tidak pernah menyadari itu, dan tidak akan pernah mengakuinya.

Maka itulah keputusanku.

Desember 2018

Kesepakatan awal, kami hanya akan berpisah rumah sampai sepekan saja, untuk merefleksikan diri kembali dan mencari solusi. Sebuah hal yang tentu saja tidak dilakukan Clara. Bahkan, Larry seakan memanas-manasi aku dengan memposting sesuatu di Facebook. My lovely Princess. Dari awal aku sudah tahu bahwa Larry ini punya affair dengan Clara, tapi aku tidak punya decisive evidence untuk mendukung kecurigaanku. Jadi, ya sudah lah.

Menjelang akhir masa berpisah, aku merasa belum siap. Atas masukan dari orang tuaku, dan di akhir tahun memang ada rencana mau keluar kota bersama, aku akhirnya mengirim email ke Clara. Aku belum siap, itu subyeknya. Sekaligus aku meminta ketegasan kembali padanya melalui email tersebut, dan terkuaklah semuanya dengan sebuah kekonsistenan:
  • Clara tidak cinta padaku
  • Clara menyesal menikah denganku
  • Clara menikah karena dipaksa keadaan
  • Clara tidak melihat dirinya sebagai istri siapapun, atau milik siapapun, termasuk Larry, dan menjadi ibu dari siapapun, termasuk sekarang maupun di masa depan
Hah, yang poin terakhir baru! Tapi tahu kenapa semuanya ini terkuak? Karena aku menuruti permintaannya: berbicara melalui media elektronik. Semuanya ini tidak pernah muncul saat pembicaraan empat mata. Aneh kan? Tapi ini kenyataannya, dan kini semuanya terkuak sudah.

Shock? Tentu saja! Karena dia tidak melihat dirinya sebagai istri maupun calon ibu, jelas itu mengingkari janji sucinya di depan altar. Berarti pula dia berbohong pada romo atas wawancara penyelidikan kanonik yang dilakukan sebelum nikah. Aku sudah pernah memperingatkan berkali-kali pada Clara bahwa itu adalah dosa yang sangat besar. Di salah satu email, sayangnya, Clara menyatakan bahwa ini adalah dosa yang akan kutanggung. Well, fine then. Hanya saja, aku tidak akan menyelamatkan dirimu dari pertanggungjawaban di pengadilan terakhir. Tanggunglah sendiri.

Aku tidak ingat kapan persisnya, tapi beberapa tanda bahwa Clara tidak lagi mau melanjutkan pernikahan ini rupanya ditunjukkan Tuhan kepadaku. Kalau tidak salah, saat itu aku hendak mengambil suatu barang di laci lemari pakaian. Laci itu kebetulan agak sedikit sulit dibuka, kadang-kadang harus digoyang-goyang terlebih dahulu. Saat aku menggoyang-goyangkan laci itu, tentu saja benda-benda di atasnya juga sedikit bergetar. Tanpa sengaja aku melihat sebuah benda yang tiba-tiba muncul begitu saja dari bawah tumpukan rosario.

Cincin kawinnya.

Rupanya ia sudah melepaskan cincin kawinnya sejak entah kapan. Dulu ia pernah juga melupakannya di kamar mandi, namun sedikit kumaklumi. Tapi sekarang? Mungkin banyak yang bilang, ah apalah arti cincin kawin. Well, di awal pernikahan, bagiku, cincin kawin adalah sesuatu yang sakral. Di sakramen perkawinan, ada upacara cincin, saat mempelai mengatakan, "terimalah cincin ini sebagai tanda cinta dan setiaku kepadamu." Ketika ia melepaskan cincin itu tanpa persetujuan pasangannya, bukankah berarti dia tidak lagi cinta dan setia? Apakah karena orang ketiga? Mungkin, tapi aku tak mau lagi berspekulasi. Sudah semakin jelas di hadapanku bahwa Clara tidak lagi mau setia hidup denganku.

Aku masih ingat, di awal Desember 2018, aku diajak pergi ke Gua Maria Kerep Ambarawa. Kami memang rutin pergi ke sana untuk berdoa dan mencari petunjuk atas segala kesulitan duniawi. Karena ini adalah masalah serius, maka tentu saja aku tidak mau ketinggalan. Aku sangat bahagia bisa kembali ke sana bersama keluargaku seperti sedia kala seperti saat sebelum menikah, namun di saat bersamaan aku sangat terpukul dengan kejadian ini. Clara yang kukira kukenal dan menjadi teman hidupku sampai akhir hayat, telah berkhianat atas janji sucinya kepadaku, kepada Allah, dan kepada kedua keluarga. Aku masih ingat pagi harinya, saat mengikuti misa di Gua Maria, pas sekali homili romonya menyinggung masalah pernikahan, bahwa anak zaman now ini sangat mudah menikah tapi di belakangnya ternyata bertengkar dan minta cerai, makanya hati-hati saat memilih pasangan, jangan sampai menyesalnya seumur hidup. Sejak homili itu aku tidak konsentrasi sampai akhir misa, bahkan setelah misa berakhir aku seakan tidak ingin pulang ke rumah. Aku menangis sejadi-jadinya (tidak sampai bersuara sih) di hadapan Bunda Maria, karena aku tidak pernah membayangkan hal ini akan terjadi. Aku selalu berpegang teguh bahwa pernikahan Katolik itu sakral dan hanya terjadi seumur hidup. Maka, ketika aku sendiri sampai harus membatalkan pernikahan ini, rasanya sakit sekali di dada.

Dan rasa sakit itu tidak pernah hilang sampai kini, hampir dua tahun setelahnya. Tanpa disadari, Clara telah meninggalkan luka besar pada seseorang, dan luka itu sepertinya tidak akan sembuh. Aku yakin dia juga mengalami luka yang sama, tapi dari pengamatanku sejauh ini, dia lebih cepat sembuh. Bahkan dia seakan menikmati kebebasannya dengan Larry.

Ah, tapi itu mungkin hanya buruk sangkaku. Cukup lah membicarakan Clara dan Larry. Ada kejadian lain setelah ini, yang terjadi bahkan setahun bersela, tapi aku tidak akan menceritakannya. Biarlah ini menjadi pertanggungjawaban mereka berdua kelak.

Kembali lagi ke cerita kisah hidupku...

2019

7 Januari 2019

Ini tanggal legendaris (kalau pada sudah baca bab 0, pasti sudah tahu ini tanggal apa). Saat aku memutuskan pisah dengan Clara untuk selamanya. Pada tanggal itu, aslinya orang tuanya menyambutku dengan baik. Namun, aku tidak bercerita terlalu panjang. Karena aku trauma dengan pertemuan terakhir malam itu, termasuk ceramah papa Clara, maka aku memotong segala macam percakapan, dan aku akhirnya mengucapkannya dengan lantang.

Aku akan mengajukan pembatalan pernikahan.

Terjadi perubahan besar pada Clara. Tadinya dia sangat malas berada dalam pertemuan itu, namun sejak aku mengatakannya, dia mendadak ceria. Matanya berbinar-binar, bukan lagi mata penuh dendam yang aku lihat pada pertengkaran terakhir. Bahkan dia bilang, ayo ngurus bareng saja, karena aku bilang akan mengurus ini semuanya sendiri (di saat persiapan pernikahan, aku lebih banyak mengurus administrasi dibandingkan dirinya). Oke lah, jadi paling tidak sekarang ada kesepakatan dari kedua belah pihak.

Pernikahan ini berakhir hari ini. Resminya kapan? Nanti setelah diurus di pengadilan negara dan Gereja.

Barang-barangnya baru diambil beberapa hari kemudian, dan kuncinya kuambil kembali.

Sejak itu aku bertarung sendirian melawan depresiku karena pernikahanku gagal, sementara itu Clara berlaku seolah-olah dia merdeka. Kalau ada yang penasaran, beberapa kali Larry menandainya di Facebook, sesekali dengan caption mesra (pernah manggil dia Princess), dan tentu saja kubiarkan. Semestinya mereka berdua tahu bahwa jejak digital itu kejam. Aku masih menyimpan semuanya (bahkan di Facebook Larry tidak ada niat untuk menghapusnya). Tentunya ini bisa kujadikan bukti di pengadilan maupun Gereja. Bahkan game bisa menghancurkan sebuah pernikahan.

Sejak saat itu, aku tidak pernah lagi berhubungan dengan Clara, kecuali saat dia perlu menanyakan tentang kapan mau mengurus anulasi perkawinan. Aku hanya bisa bilang, cari info dulu, dam memang mau cari info dulu. Sekarang? Tentu saja tertunda karena wabah COVID-19 ini. Namun apakah dia peduli? Mungkin tidak. Mendadak dia sangat aktif di game yang juga kumainkan sejak dulu, bahkan dia memainkan tiga akun sekaligus. Gabut? Mungkin. Apakah aku peduli? Tidak.

Well, jadi itulah kisah hidupku. Kalian mungkin tidak peduli dengan kisah ini, apalagi yang menulis seorang pria. Mungkin banyak yang akan menyalahkan aku karena semuanya ini, namun aku tidak akan peduli. Inilah kenyataan bahwa kecanduan game tidak memandang bulu sama sekali. Bahkan wanita pun bisa kecanduan game, dan efeknya pun bisa sampai menghancurkan sebuah pernikahan sakral. Jadi, untuk para gamer di luar sana, hanya ini pesanku.

Hadapilah dunia nyata seberani kamu menghadapi dunia maya.

Sebetulnya masih ada kisah lanjutan antara Clara dan Larry, namun ini sudah di luar hakku. Nanti mereka bisa menuntut atas pencemaran nama baik, walaupun aku tidak pernah menuliskan nama asli mereka. Biarlah kisah itu dituturkan dari sisi mereka sendiri. Dan kalau kau mau minta kisah ini dari sisi Clara, silakan. Ceritanya mungkin tidak akan sama dan bisa jadi sudah dikemas sedemikian rupa sehingga aku menjadi pihak yang bersalah. Namun, paling tidak inilah kisahku. Aku tidak berusaha menjebak Clara menjadi pihak yang bersalah. Karena kalau kalian tanya apakah aku masih cinta Clara, jawabnya, mungkin masih ada. Sangat kecil, entah di mana di ujung hatiku yang sudah remuk dan membeku. Tapi kalau kalian tanya apakah mungkin aku kembali pada Clara, jawabnya adalah tidak. Semuanya ada batasnya. She has crossed that line to the point of no return.

Oleh karena itu, Clara, kalau kamu sampai kebetulan sekali membaca ini, you may hate me more after this, but know this. I love you no more. Jadi, setelah kita resmi bercerai, maka it's a forever goodbye. Kamu mungkin masih bisa kerja di sana, tapi aku takkan pernah mau bekerja sama denganmu dengan kondisi apapun. Aku juga tidak akan lagi peduli denganmu; mari kita putuskan semua hubungan di media sosial dan Line. You will be a mere shadow in my footstep that I wish I could leave behind, but yet there you are, never to disappear. Aku mungkin tidak dendam padamu, tapi aku tidak akan pernah melupakan segala hal yang telah kamu lakukan padaku, dan terutama pada mamaku.

Terima kasih semuanya sudah meluangkan waktu untuk membaca kisah hidupku ini. Kalian boleh tidak setuju pada sebagian atau semua hal yang telah aku tuliskan; itu hak kalian. Aku tidak menulis ini untuk mencari dukungan, tapi sebagai salah satu upaya untuk mulai membiasakan diri dengan kisah ini. Kisah yang dulunya selalu membuka lagi luka lama (bahkan sekarang pun demikian). Tapi, semoga dengan menuliskan kisah ini, aku bisa menerimanya sepenuhnya, dan menjadi tegar (atau kebas) dengan luka ini. Sehingga aku bisa melanjutkan hidupku dan bahagia dengan caraku sendiri. Mohon maaf kalau ada sebagian atau bahkan seluruh cerita ini yang menyinggung beberapa pihak (well, aku tidak ada maksud demikian, tapi bisa jadi emosiku secara tidak sengaja mendorongku untuk menulis sesuatu yang ternyata menyakitkan hati)..

Terima kasih.

Bab 2: Pacaran. Kebahagiaan. Keseriusan.

Halo! Kembali lagi di kisah kehidupan yang bak sinetron ini. Maaf lama yah, kapan hari agak kewalahan menyesuaikan diri dengan WFH, apalagi karena mata kuliahku banyak. Sekarang sih masih kewalahan, tapi sudah menemukan ritmenya, hehehe...

Sampai mana ya terakhir? Oh ya. Kisah masa-masa pacaran. Kalau disuruh cerita masa-masa pacaran... sejujurnya agak lupa, hahaha... dan mungkin kau akan cukup bosan. Sudah banyak kisah cinta di luar sana yang mungkin lebih romantis dari ceritaku ini. Aku sendiri tidak pernah mengarang kisah romantis sih. Jadi ini cerita apa adanya ya.

2015

Setelah resmi menyatakan pada dunia kalau jadian, maka sudah tidak ada lagi yang perlu ditutup-tutupi. Walaupun sudah banyak yang tahu dari begitu intens dan dekatnya interaksi aku dengan Clara di Facebook, semua akhirnya menyemangati saat pengumuman itu dilontarkan. Sekarang, akhirnya aku dan Clara bisa dengan bebas jalan berdua, melakukan hal-hal yang kami sukai bersama. Aku nggak ingat kapan, tapi akhirnya aku memberanikan diri juga untuk bilang ke mama dan papa bahwa aku akhirnya pacaran. Dengan Clara. Yaa... awalnya sih bisa ditebak reaksi mereka bagaimana, dan mama agak menginterogasi juga. Tapi akhirnya mereka bisa menerima, karena kelihatannya aku serius dengan Clara. Yang penting itu: keseriusan.

Well, pada masa itu, aku belum tahu apakah Clara serius atau tidak. Tentunya belum sampai terpikir ke tingkat lebih lanjut. Nikmati dulu masa-masa pacaran, ya kan? Jadi pepatah kuno Cinta itu buta ternyata memang benar.

Jadi, ngapain saja sih selama masa pacaran? Hmmm... mungkin cara kami berpacaran bisa dibilang tidak normal untuk orang kebanyakan. Kami hanya kencan di akhir pekan, yaitu setelah ke gereja, itu pun hanya sesekali ke mal. Di luar itu? Kami berdua masih melanjutkan kebiasaan chat sih, waktu itu di Google Hangouts. Kenapa? Karena bisa diakses dengan mudah dari HP, tablet, maupun PC, dan semua chat tersimpan otomatis tanpa perlu melakukan apapun. Entah kenapa orang-orang tidak menyadari kelebihan aplikasi satu ini. Eh jadi curcol hal yang lain, hahaha... kalau ada yang tanya di mal ngapain? Yaaaa makan (biasanya junk food sih), lalu main di arcade (Stinger atau sekarang jadi Fun World, Amazone, seperti itu lah). Main apa? Aku sih suka rhythm game, jadi semacam DDR, PIU, Taiko, dan ke depannya bahkan Dance Core (eh bener ga ya namanya itu? Yang sempat booming karena banyak lagu Koreanya), pernah coba Mai-Mai. Kadang-kadang pernah main tembak-tembakan yang coop (Time Crisis, House of the Dead 4, pernah juga coba The Walking Dead pas baru pertama kali rilis, sampai dapet kesempatan untuk ngisi kuesioner tentang mesin itu dan dapat voucher gratis).

Kalau tidak sedang kencan, maka sehari-hari kencannya daring. Awal-awal kami berdua masih sering main DN sih, hanya saja anggota guild perlahan-lahan menghilang satu per satu. Karena sempat vakum agak lama (mungkin ada sebulan lebih), waktu masuk si Clara disambut dengan layar welcome back (waktu itu memang ada program menyambut kembali pemain yang sudah lama tidak masuk). Eh tanpa sengaja dia memencet finish my current quest. Akibatnya, dia tidak bisa tahu jalur cerita yang semestinya. Waktu itu aku sudah sedikit maju di depan. Berhubung dia suka main DN karena ceritanya, akhirnya semangat itu mendadak lenyap. Dia mulai tidak bersemangat untuk melanjutkan. Ya sudah, akhirnya aku mencoba mencari penggantinya, yang kurang lebih gameplay-nya mirip dengan DN.

Ketemulah Guild Wars 2. Walaupun game ini bayar, tapi bisa coba dulu gratis, bahkan tidak ada batas waktunya. End game content-nya yang bayar. Ya sudah deh, mencoba main. Cukup menyenangkan, walaupun tidak terlalu mirip DN, pace-nya lebih pelan tapi masih menantang juga. Maka jadilah DN pun ditinggalkan (aku bahkan masih punya catatan kehidupan karakter DN, yes kami role-play dan rajin menulis catatan dari sisi karakter, bahkan pernah juga bikin cerpennya. Aku ingat menulis catatan terakhir untuk DN, karena setelah ini mereka akan ditinggalkan begitu saja.).

Well, tha was our life. Ga istimewa sekali ya? Jauh dari gambaran orang kencan pada umumnya. Aku tidak pernah mengunjungi rumahnya karena aku tidak punya kendaraan sendiri (hail Uber dan sekarang Grab). Jadi, kegiatan sehari-hari ya itu deh, nge-game di malam hari, ke gereja di hari Sabtu, lalu hanya sesekali saja nge-date setelahnya. Irit ya?

Jadi, entri bab ini kayanya pendek deh, hehehe...

Oh ya, ada satu lagi mungkin yang bisa kuceritakan sebelum ganti topik. Waktu temanku yang jadi direktur divisi IT di kantor membutuhkan tenaga baru, dia langsung bertanya padaku. Clara gimana? Isa ga? Ya aku jawab coba aja, dan memang dia lebih kuat di pemrograman daripada di multimedia. Maka, aku minta Clara ikut seleksi tes masuk. Awalnya ngeluh karena tesnya sulit dan ga selesai, tapi kata temanku logikanya paling jalan dibandingkan kandidat lainnya.

Maka, jadilah dia anggota divisi IT di kantor. Untungnya kami beda unit, jadi etika karyawan masih terpenuhi. Jadi, chatting-nya sekarang juga pindah, di jam kantor juga tetap chatting.

Sampai akhirnya...

2017

Suatu hari, Clara chat bahwa mamanya meminta agar aku melamarnya. What??? Bahkan perkenalan orang tua saja belum. Aku juga belum terlalu kenal dengan orang tuanya (ya, gimana mau kenal, wong bertamu saja nggak pernah, hehehe...). Setelah bernegosiasi, akhirnya sepakat bahwa lamaran akan dilangsungkan di hari ulang tahunku, yaitu 9 Juni. Mulai deh bingung dengan ini-itu (apalagi sebenarnya keluargaku tidak terbiasa dengan budaya ting jing), namun akhirnya lamaran tersebut terlaksana juga. Akhirnya juga ditetapkan bahwa tanggal pernikahan adalah 18 Agustus 2018. 180818. Tanggal cantik ya?

Sayangnya, terjadi perubahan pada Clara sejak tanggal pernikahan diputuskan...

Entah sejak kapan, Clara menemukan game Dragon Nest Mobile. Aku agak malas main karena baterai HP-ku saat itu cepat drop, dan lagian semestinya ada DN PC, tapi Clara tidak mau melanjutkan karena dia tidak sengaja skip story, dan gagal transfer char sewaktu ada perpindahan server, jadi hanya aku satu-satunya yang bertahan di guild itu. Maka, dia main sendiri. Sejak itulah dirinya mulai berubah. Kami mulai jarang chat seperti dulu (bahkan dia pindah ke Line. Belakangan kupikir-pikir, ada penyebabnya sendiri, tapi ini hanya dugaan sih), dia lebih sibuk dengan DN M-nya. Bahkan, pernah suatu hari saat kami sedang nge-date, dia dengan antusiasnya cerita bahwa dia sudah menikah di game tersebut, dan cerita betapa menyenangkannya bermain dengan suaminya. Mari kita sebut dia Larry.

Astaga, lalu calon suamimu ini diapakan?

Itu awal dari fenomena gunung es yang cukup terlambat kusadari, sehingga akhirnya bahtera rumah tanggaku pun ikut karam seperti Titanic.

2018

Tanda-tanda bahwa Clara tidak serius dalam menyiapkan pernikahan semakin terlihat. Kami jadi lebih sering bertengkar, baik untuk hal sepele maupun hal serius. Yang paling kuingat adalah perkara nasi kotak. Clara menuduh bahwa mamaku tidak mau diberi masukan dan menutup segala kemungkinan, padahal yang terjadi sebaliknya. Pernah setelah pertemuan yang berakhir pada kesepakatan bahwa nasi kotaknya adalah nasi kuning (yang kebetulan tidak disukai Clara, tapi apa coba relevansinya? Toh yang makan adalah para undangan gereja), beberapa hari kemudian aku mendapat kiriman nasi kotak dari pihak camer. Katanya silakan dicoba, rasanya enak. Waktu dibuka, astaga... isinya nasi capcai yang tentu saja sudah dingin, tidak enak dimakan. Tapi bukan masalah enak tidaknya yang kupermasalahkan. Apa mereka sudah mikir perasaan keluargaku waktu melakukan hal itu? Tapi aku dan mamaku memutuskan untuk diam saja, daripada ribut. Walaupun, aslinya aku sempat ribut besar dan papaku sampai ikut marah dan berkata, lebih baik pernikahan ini dibatalkan saja. Banyak pertengkaran lain yang aku sudah lupa apa saja, tapi intinya pihak camer sering berubah keputusan setelah rapat dan seakan ingin menguasai sendiri pernikahan itu. Mungkin beberapa akan bilang maklum kalau aku mengatakan bahwa itu adalah pernikahan pertama dan satu-satunya dari seluruh anaknya, tapi ya nggak boleh begitu dong? Pernikahan adalah persatuan dua keluarga, jadi harus saling tenggang rasa dan konsisten atas hasil rapat yang sudah disepakati bersama.

Itu tanda pertama yang kuabaikan. Karena aku dan mamaku berpikir, sudah sampai sejauh ini, masa harus mundur begitu saja?

Tanda berikutnya? Waktu kursus persiapan pranikah, yang salah satu harinya bareng dengan pengeboman gereja tempat prosesi pernikahanku kelak (13 Mei?). Kursus itu dilakukan dua kali. Di keduanya, si Clara justru memilih main DN M hingga dini hari (kalau nggak salah lebih dari jam 1). Padahal kursusnya dimulai pagi (mungkin jam 8?), jadi harus bangun pagi. Aku sih tidur lebih awal, tapi dia? Akibatnya, waktu di kelas, dia mengantuk dan pasti tidak mendengarkan materi kursus. Tentu saja aku mendengarkan dengan serius, karena aku serius dengan pernikahan ini. Di ajaran Katolik, pernikahan itu harusnya hanya berlangsung sekali seumur hidup, jadi harus dijaga dan dipersiapkan dengan baik.

Sayang, aku mengabaikan tanda itu.

Tanda-tanda lain perlahan-lahan bermunculan. Tiap kali rapat persiapan pernikahan, si Clara agak malas-malasan dan malah mainan HP. Kami sempat beberapa kali bertengkar sampai akhirnya aku memutuskan, ini harus dipertegas. Kamu serius nikah nggak?

Juni 2018

Malam Minggu, setelah pergi gereja dan makan, di teras rumahnya aku menanyakan keseriusannya untuk menikah. Saat itu, aku menyatakan bahwa aku tidak mau kehilangan dirinya. Kalau memang ada yang salah dariku, ingatkanlah, kalau ada yang salah darimu, kuingatkan. Aku nggak bisa jalan sendirian, karena pernikahan ini adalah komitmen bersama dari dua orang, ya kan? Waktu itu, dia menjawab menyanggupi untuk melanjutkan pernikahan ini, karena semuanya sudah disiapkan, masa mundur?

Semestinya, kalau dia tegas, saat itu juga dia mundur. Supaya kegoyahan-kegoyahan ini tidak membuat runtuh rumah tangga yang akan dibangun.

Sayangnya, itu tidak terjadi.

Mendadak aku ingat satu hal lagi yang sangat membuatku marah saat itu. Clara ini adalah salah satu anggota sebuah organisasi keagamaan Katolik Karismatik yang cukup besar di Surabaya (aku tidak perlu sebutkan supaya tidak terjadi penilaian negatif pada organisasi tersebut, karena aku yakin sebenarnya bukan organisasinya yang salah, tapi pribadi anggota-anggotanya). Karena saksi Gereja tidak boleh dari keluarga sendiri, aku memintanya untuk mencari saksi. Nah, dia mengusulkan agar saksi Gereja adalah "om" dan "tante" (ini kedua pendiri organisasi tersebut, memang sudah biasa disebut om dan tante. Untuk mempersingkat, nanti organisasi ini akan aku sebut dengan inisial KKM, Kementerian Keselamatan Manusia). Oke lah, walaupun aku sejenak sudah punya sedikit ketidaksukaan tersendiri. Terkait KKM ini, aku memang tidak terlalu menyukai organisasi karismatik; singkatnya karena ibadah mereka terlalu "bersemangat" sementara aku adalah golongan konservatif yang lebih menyukai keheningan ketika beribadah. Selain itu, Clara beberapa kali bercerita bahwa lingkungan pergaulannya di KKM agak kurang sehat karena orangnya "antik-antik" (banyak yang memiliki keunikan yang, sayangnya, negatif). Maka aku agak menyangsikan sebenarnya kegunaan KKM ini, karena kok anggotanya (termasuk Clara sendiri) kurang mencerminkan seseorang yang seharusnya beriman. Well, tapi itu perdebatan lain kali ya. Aku dan Clara pun sudah sepakat bahwa setelah menikah Clara masih bebas ikut KKM, tapi aku tidak akan pernah ikut KKM. Bagiku, agama bukan lah sesuatu yang bisa dipaksakan begitu saja. Aku pernah ikut ibadah KKM dan karismatik lainnya, dan aku sangat tidak menikmati ibadah tersebut. Oke, kukira problem solved.

Balik lagi ke cerita. Aku nggak ingat apakah sebulan atau dua pekan sebelum hari H, mendadak aku dipanggil oleh si om. Kenapa? Ya katanya mau kenalan, masa saksi nggak kenal dengan orang yang dia jadikan saksi. Menurut Clara sih om dan tante ini sudah sering sekali jadi saksi para anggota KKM, jadi harusnya oke.

Tahu apa yang terjadi?

Selama dua jam berikutnya, aku diceramahi habis-habisan oleh si om. Aku seakan adalah orang tersesat yang menyangkal Roh Kudus. Orang Katolik harus mengakui trinitas, yaitu Bapa, Putra, dan Roh Kudus, namun sering kali mereka melupakan Roh Kudus. Maka, KKM ini adalah sebuah organisasi yang katanya penuh dengan curahan Roh Kudus. Well, aku nggak percaya sepenuhnya sih... dan dari cara bicaranya, aku seolah dipaksa untuk menjadi anggota KKM setelah nikah. Oh sori ya, that never happens. In present tense. Aku tidak akan pernah mau bergabung dengan organisasi keagamaan yang aku tidak sreg sendiri terpanggil. Tapi, seolah om tidak peduli. Akhirnya sih penderitaanku berakhir karena sudah malam sekali (pukul sepuluh lebih rasanya). Di sepanjang perjalanan, aku diam saja, menunjukkan kemarahan yang aku tidak ungkapkan. Clara sepertinya punya penyesalan karena setelah sampai di rumah dia minta maaf. Yah, kalau dia tahu aku persis, seharusnya itu tidak terjadi. Maka sejak itu, aku justru bertekad membuktikan, bahwa tanpa ikut KKM pun, aku masih bisa mengabdikan diriku ke sesama. Panggilanku adalah di tugas paduan suara Gereja, jadi sebenarnya sama saja, ya kan? Bahkan Gereja sekarang juga ada keluhan bahwa anggotanya tidak lagi mau berpartisipasi aktif di Gereja. Bukannya menyombongkan diri, tapi aku jadi malah memenuhi permintaan Gereja kan? Bukannya mengadakan organisasi sendiri (yang walaupun iya sih diakui Gereja). Tapi ya sudah lah, itu urusan lain. Aku tidak melarang Clara untuk mengikuti agenda KKM rutin, yaitu ibadah sel tiap Senin dan ibadah malam tiap Jumat. Aku juga percaya pada siapapun yang sudah berbaik hati untuk menjemputnya dan mengantarnya pulang tiap dua hari itu. Tidak baik berburuk sangka, ya kan?

Oh ada lagi. Terkait KKM ini, kalau seseorang sudah fanatik ikut, well... bahkan keluarganya sendiri pun diabaikan. Suatu hari, juga menjelang hari H pernikahan, keluargaku ada undangan pesta ulang tahun salah satu tetua (umur 90an kalau tidak salah, aku lupa). Keluarga besar diundang, dan tentu saja aku juga diharapkan membawa calon pengantin. Masa si engkong tidak tahu calon mantunya?

Tahu reaksi awal si Clara?

Tidak mau ikut. Karena di saat bersamaan, dia ada ibadah terakhir di kelompoknya. Setelah menikah, dia harus pindah dari divisi single ke divisi pasutri, dan dari ceritanya divisi pasutri ini tidak menyenangkan. Malah, dengan nada tidak menyenangkan (tentu saja ini interpretasiku sendiri ya, karena semuanya dilakukan via chat), dia menantang balik. Harus ta?

Eh, kamu mau menikah ya. Pernikahan itu berarti dua keluarga jadi satu. Maka mencobalah membaur dengan keluarga pasanganmu. Ini memang juga kesalahan terbesar kami berdua, karena kami jarang terlibat dengan acara keluarga masing-masing. Aku tidak pernah ikut acara keluarganya (dan tidak pernah diajak), dia juga hanya beberapa kali ikut acara keluargaku. Hanya saja, yang terakhir ini penolakannya begitu besar.

Ya bertengkarlah lagi kami. Sampai akhirnya dia nyadar alasan sebenarnya. Oke lah, akhirnya dia bisa paham, dan "merelakan" ibadah terakhirnya tersebut. Karena aslinya lho ya, kalau cuma masalah orang-orangnya saja, dia tetap masih bisa berhubungan dengan teman-temannya yang jomblo itu, ya kan? Aku tidak pernah melarang dia untuk bersosialisasi dengan teman-temannya, bahkan aku tidak tahu siapa saja mereka. Aku tidak pernah tahu, tidak pernah dikenalkan, dan tidak pernah mau tahu. That's her right, that's her privacy. Tapi mungkin ini kepercayaan berlebihan, karena kelak nanti ketidaktahuanku ini menjadi bumerang.

Intinya sih, hal yang sama terjadi lagi. Aku merasa dia tidak serius menjalani pernikahan ini. Bodohnya, kali ini aku tidak menanyakan lagi keseriusannya (bahkan surat panjang yang aslinya kusiapkan sejak 50 hari menjelang pernikahan tidak pernah kuberikan padanya).

Itulah kesalahan, atau kebodohan terbesar, yang akhirnya membawaku pada kejadian ini.

Dan entah mengapa, aku mulai merasakan ada cinta terlarang yang terulang. Sayangnya, bukan antara aku dan Clara, namun antara Clara dan Larry.

18 Agustus 2018

Ah, sakramen pernikahan yang begitu agung. Resepsi yang, walaupun ada kekacauan, namun secara umum semuanya berjalan dengan baik.

Hanya saja, malam pertamaku tidak seindah malam pertama yang biasanya orang-orang bayangkan. Alih-alih bercinta, si Clara malah bermain DN M bersama teman-teman guild-nya, dan seharusnya tidak dipungkiri, suami mayanya.

Namun, sekali lagi, aku mengabaikan hal itu, dan mengira semuanya akan membaik setelah kami tinggal bersama. Mungkin kapan hari itu hanya stres pranikah karena mendadak banyak yang harus disiapkan dan semuanya banyak yang tidak dia inginkan di luar kehendaknya. Mungkin setelah ini akhirnya kami menikmati hidup bersama yang selalu kami idam-idamkan? Bisa bermain bersama setiap hari, melakukan hobi bersama setiap kali?

Yah, pekan pertama, itu yang terjadi. Namun...

25 Agustus 2018

PC-nya datang ke apartemen. Sejak itulah, rumah tangga yang fondasinya tidak kokoh ini mulai goyah lagi. Kisahnya akan kuceritakan lebih lengkap di bab-bab berikutnya.

Dari sinilah pula, walaupun tidak pernah bisa kubuktikan, sebuah benih cinta terlarang mulai tumbuh. Sayangnya, bukan antara aku dan Clara (bagaimana bisa disebut cinta terlarang sementara kami sudah menikah?).

Ini adalah kisah antara Clara dan Larry.

Yang akan kuceritakan di bab berikutnya. Ditunggu yah!

Minggu, 02 Februari 2020

Bab 1: Awal Mula Cinta Terlarang

Mungkin banyak yang bertanya-tanya, ini awal mulanya gimana toh? Kok pake nyalahin game sekarang? Kalau pada suka game, kenapa akhirnya pada tidak akhur? Sampai harus berpisah, padahal sudah nikah?

Maka inilah kisah awalnya. Sebuah kisah cinta terlarang.

Mundur jauh ke belakang.

2009

Atas sebuah kejadian pengubah hidup yang ceritanya agak ga relevan, sejak 1 Juli 2009 aku menjadi seorang dosen kontrak di sebuah universitas swasta (mau tahu di mana? Tinggal cek profil FB). Saat itu aku belum kenal dengan Clara yang masih semester 3. Maka kita lompat saja sampai setahun kemudian...

2010

Aku diterima menjadi dosen tetap dengan satu tahun masa percobaan. Aku juga belum mengenal Clara pada saat ini, hingga aku mengajar sebuah kelas Game Development. Nah, kira-kira sekitar itu, salah satu mahasiswi mengajak untuk main game Dragon Nest, waktu itu tentu saja di PC. Dia sudah main duluan bersama beberapa temannya membentuk satu guild, salah satunya Clara. Aku masih ingat nanya mereka butuh apa, dan akhirnya aku jadi seorang Priest. Dari situ lah aku kenal Clara. Dia mulai kepoin YM-ku (duh jadul banget ya, hahaha), kemudian mengetahui situs Web-ku (RPGFID waktu itu, sekarang RPGFWID), dan tahu tentang forumku dan novelku. Dari situlah kami berdua mulai ngobrol, waktu itu ya sebatas game saja sih. Nggak ada hubungan apa-apa yang spesial, terutama karena dia sudah berpacaran dengan kakak kelasnya, sebut saja Billy. Masa mau gangguin orang pacaran? Lagipula, tentu saja melanggar kode etik jika seorang dosen berpacaran dengan mahasiswanya.

Jadi yaaa... kami hanya menghabiskan waktu bermain. Sesekali chatting, aku sudah lupa bahas apa saja di YM sebelum akhirnya pindah Google Talk waktu itu. Dia pernah mengambil salah satu kelasku, tapi di kelas pun ya biasa-biasa saja. Nggak ada hubungan khusus, walaupun memang jadinya cukup akrab, tapi keakrabanku waktu itu bisa dibilang cukup merata ke angkatannya. Kadang-kadang kalau aku mengadakan acara main Kinect, dia nyaris selalu datang, dengan diantar pacarnya yang lebih sering nganggur selama sesi itu. Saat ini, mamaku sempat mengamati Clara dan pernah menyinggung bahwa dia tidak punya sopan santun sama sekali. Pernah pinjam piring untuk makan, dan dia makan duluan sebelum pacarnya; dan hal-hal lain yang aku tidak ingat. Jarang pamit saat pulang? Mungkin ya.

Waktu itu, seingatku mainnya juga tidak terlalu intens. Paling waktu malam hari, itu pun tidak tiap hari. Weekend? Mungkin. Normal lah ya, namanya juga main bersama. Tentunya saat itu belum ada istilah kecanduan game, jadi aku tidak bisa menyimpulkan juga apakah Clara memang kecanduan game sejak dulu.

Anyway, dua tahun kemudian...

2012

Aku berangkat S2 ke Singapura. Waktu itu hubungan kami mulai intens, setiap hari chatting. Nyaris semua posting FB-ku dia like. Yang dibicarakan? Nggak hanya kehidupan sehari-hari, tapi juga mulai ke masalah pribadi juga. Misalnya, saat ia bertengkar dengan pacarnya. Saat ada masalah di kuliah. Waktu itu seharusnya dia sudah mulai TA, tapi aku tidak ingat kenapa kuliahnya molor. Main? Mulai intens juga. Aku ingat pernah main nonstop dari jam 10 waktu Singapura hingga hampir setengah 4 pagi. Sekarang, setelah kupikir-pikir, mungkin intensitas bermain itu jugalah yang secara tidak kusadari ikut menyeretku dalam "kecanduan game," sehingga di semester pertama kuliah, nilaiku sangat jeblok. Aku pernah tidak mengerjakan tugas karena malas dan lebih memilih bermain DN. Setelah semester pertama itulah aku mulai sadar dan berusaha mengejar ketinggalan nilai kuliahku. Saat itu, seingatku dia juga sudah mulai agak serius dengan Billy. Sempat pernah cerita, walaupun dengan nada bercanda, kapan nikah? Keluarganya tentu juga bertanya hal yang sama. Aku sendiri juga mendukung mereka berdua, karena mereka tampaknya cukup serasi satu sama lain.

Hingga tanpa terduga...

2013

Ini sambil ngecek histori chat (berkat Google semuanya masih tersimpan dengan rapi).

April

Clara mendadak chat bahwa dia putus dengan pacarnya. Tentu saja aku kaget. Walaupun kadang-kadang bertengkar, biasanya mereka berdua akur dan cocok. Ternyata, orang tua Billy tidak setuju hubungan mereka dilanjutkan. Clara memiliki adik berkebutuhan khusus sehingga harus dijaga terus. Mereka keberatan bahwa suatu saat nanti setelah mereka nikah, adiknya akan ikut mereka. Tentu menjadi beban tersendiri kan? Ya sudah, akhirnya hubungan mereka berakhir. Aku tentu saja hanya bisa menghiburnya, dan berharap dia bisa menemukan penggantinya. Ya mungkin tidak perlu cepat-cepat. Aku sempat ada harapan bahwa dia mau denganku, tapi namanya baru putus, tentunya tidak etis kalau minta jadian. Apalagi aku masih terikat hubungan dosen-mahasiswa, lebih tidak etis lagi.

Aku tidak pernah menyangka bahwa bulan-bulan berikutnya mulai tumbuh benih-benih cinta itu, entah di diriku sendiri maupun di Clara. Aku selalu memosisikan diriku sebagai kakaknya, tempat dia bisa bercerita dan menumpahkan segala keluh kesahnya. Termasuk mengerjakan TA yang ada hubungannya dengan proyek RPG-ku yang terbengkalai sih. Billy sendiri mulai jarang bermain game, mungkin supaya tidak ketemu Clara dan terkenang masa lalu ya.

Namun, akan ada sebuah trigger yang benar-benar membalik keadaan.

November-Desember

Kalau tidak salah akhir November, salah satu teman guild-nya yang juga dekat denganku berkunjung ke Singapura dan memintaku untuk jadi tour guide. Tentu saja dengan senang hati kulayani. Hubunganku dengan, sebut saja Dinda, harusnya biasa-biasa saja, karena aku tahu dia berbeda agama denganku (walaupun masih satu akar), sehingga tidak mungkin kalau hubunganku dengannya bisa serius. Namun hal berbeda dirasakan si Dinda, karena mendadak dia chat hal yang cukup personal, bahkan akhirnya menyinggung agama, sampai akhirnya aku dengan tegas menolaknya. Hal ini kuceritakan ke Clara.

Ternyata, itu menjadi trigger baginya.

Menurut pengakuannya, sejak kedatangan Dinda ke Singapura dan cerita-ceritaku tentangnya, dia mulai kepikiran. Akhirnya, 6 Desember 2013, dia menembakku.

Tentu saja kuterima.

Namun, karena kode etik itu, tentu saja ini adalah sebuah cinta terlarang. Kami tidak mengumumkan ke siapa-siapa, kecuali temanku yang memang kupercaya.

2015

Akhirnya dia lulus kuliah, tepat di semester terakhirnya sebelum terkena DO. Aku sudah pulang dari S2. Setelah bercerita dengan orang tua, awalnya agak ditentang. Ngapain sih sama Clara? Dari pengamatan ketika si Clara bertamu ke rumah untuk main Kinect, mamaku menyimpulkan bahwa Clara ini seperti mengejar-ngejar aku. Namun karena aku menunjukkan keseriusan, lama-lama mamaku luluh juga. Kalau memang sudah serius, ya apapun harus dihadapi. Begitu juga komitmenku padanya. Suatu waktu kami pernah membahas, jalan cinta ini tidak pernah mulus, begitu berliku dan penuh batu sandungan, apakah kamu masih mau denganku? Dia mengatakan ya.

Maka, setelah lulus, barulah kami mengumumkan ke dunia kalau kami berdua berpacaran. Waktu itu kalau tidak salah kami sudah mulai jarang bermain DN, karena perlahan-lahan Billy dan Dinda juga tidak pernah muncul lagi untuk bermain, sehingga praktis tinggal kami berdua. Kalau tidak salah, aku pernah mencari game penggantinya (mungkin tahun ini, mungkin setahun setelahnya, aku tidak ingat). Mulailah kami berdua kadang-kadang kencan di hari Sabtu, ke gereja bersama, pergi ngemall, main di arcade bersama.

Masa-masa yang menyenangkan. Seperti apa memangnya?

Tunggu kisah berikutnya.

Selasa, 07 Januari 2020

Bab 0: Perpisahan. Pembatalan. Kekosongan.

7 Januari 2019. Setahun yang lalu.

Itu adalah sebuah tanggal yang takkan pernah kulupakan.

Ketika aku mengambil sebuah keputusan yang sangat pahit, namun tak pernah kusesali sampai saat ini (dan mungkin untuk selamanya).

Saat aku mengambil sebuah keputusan bulat untuk mengembalikan dirinya ke asuhan orang tuanya dan menyatakan akan membatalkan pernikahan.

Tentunya, kau pasti punya banyak sekali pertanyaan. Pembatalan pernikahan, apa itu? Bukan cerai? Kenapa cerai? Ini kisahnya apa toh, kok belum apa-apa sudah disuguhkan dengan kata "pisah"? Ga bisa rujuk?

Well, jawabannya tidak sesederhana pertanyaan-pertanyaan itu.

Di agama Katolik, Gereja tidak mengizinkan perceraian, karena ada tertulis di Alkitab (Perjanjian Baru, silakan di-Google sendiri) bahwa apa yang telah dipersatukan Allah tidak boleh diceraikan manusia. Maka dari itu, pernikahan (atau "perkawinan" dalam bahasa Gereja) dianggap sesuatu yang sangat sakral. Persiapannya pun ribet di Katolik. Kamu harus mengikuti kursus perkawinan yang diadakan oleh Gereja pada waktu-waktu tertentu. Ada aturan minimal kehadiran juga supaya mendapatkan sertifikat lulus kursus. Sertifikat itu menjadi syarat mengajukan sakramen perkawinan. Sebelum bisa menikah pun, ada namanya penyelidikan kanonik. Romo (tidak harus yang memberkati sih) akan mewawancarai kedua belah pihak, baik calon istri dan calon suami, secara terpisah. Aku agak lupa pertanyaannya apa saja, tapi tentu saja menyangkut keseriusan pernikahan, misalnya mau punya anak berapa, lalu kenapa kok bisa suka sama si dia, dan sebagainya. Kalau penyelidikan kanonik menyimpulkan pasangan ini belum layak menikah, ya mundurlah pernikahannya. Atau, bisa jadi batal.

Yang aku herankan, dia bisa lolos dari penyelidikan kanonik itu. Padahal ga serius nikah! Hah, kok bisa ada orang nikah ga serius? Main-main nih?

Ternyata ada!

Ikuti terus blog ini untuk tahu kok bisa ya ada orang seperti itu.

Balik lagi ke cerita hari ini. Yang terjadi adalah, aku dan mama pergi ke rumahnya untuk memberitahukan keputusan itu. Papa nggak bisa ikut karena sedang sakit, jadi hanya aku berdua. Saat itu perasaanku pun campur aduk. Deg-deg-an. Sebelumnya, kami sudah pernah berargumen dengan keluarganya, dan waktu itu jalan buntu. Jadi, pertemuan yang ini begitu menakutkan bagiku. Bagaimana kalau mereka marah? Berargumen tidak masuk akal lagi?

Saat tiba di rumah mereka, awalnya sih kami disambut baik, walaupun mamanya sempat menyindir, "Katanya cuma seminggu, kok jadi sebulan?" Ya, waktu kami memutuskan untuk berpisah sementara dan mendinginkan pikiran, awalnya hanya seminggu saja. Tapi, karena sudah cukup terluka, hingga satu minggu berlalu, aku tidak sembuh. Jadi, kuputuskan untuk memperpanjang "masa damai" itu selama satu bulan, hingga tahun 2018 berakhir. Dia pun dipanggil. Awalnya aku melihat dirinya masuk ke ruang tamu dalam keadaan malas, lusuh, tidak bersemangat sama sekali.

Pertemuan itu dihadiri lima orang: aku, mama, dirinya, mamanya, dan papanya. Tidak ada orang lain. Tentunya aku sudah tidak ingat dengan persis urutan pembicaraan kami waktu itu. Yang aku ingat dengan jelas, aku mengambil inisiatif untuk berbicara terlebih dahulu. Sebelum mereka memotong dan memaparkan argumen yang egosentris, individualistis.

"Ma, Pa, mohon maaf, tapi setelah berpikir panjang selama sebulan ini, bahkan meminta petunjuk ke Bunda Maria, akhirnya saya memutuskan. Karena toh Clara sudah menyatakan bahwa:
1. Dia tidak cinta saya, bahkan sebelum menikah
2. Dia menyesal menikahi saya
3. Dia tidak melihat dirinya sebagai seorang istri maupun ibu, baik sekarang maupun nanti
4. Dia menikah atas paksaan (walaupun tidak ada pengakuan siapa yang memaksa)
5. Dia tidak menginginkan untuk memperbaiki keadaan
Maka saya sudah mengambil keputusan ini. Tolong hormati keputusan saya ya Ma, Pa.

Saya akan membatalkan pernikahan ini."

Dalam Gereja Katolik, pernikahan dapat dibatalkan jika alasannya sangat kuat. Istilahnya: anulasi perkawinan. Salah satu alasannya adalah terdapat paksaan saat menikah, sehingga pernikahan itu dianggap tidak sah. Alasan lainnya adalah tidak pernah terjadi hubungan badan sejak menikah. Kau tahu, hingga kini, aku masih perjaka! Dia? Aku tidak tahu apakah dia perawan atau tidak, karena malam pertama pun kami tidak berhohohihe ria di atas ranjang hotel.

Dia lebih asyik bermain game bersama teman-temannya.

Gamer yang baca kalimat sebelumnya pasti akan protes, enak aja nyalahin game! Tunggu dulu Mas Mbak. WHO menyatakan kecanduan game baru bisa dicetuskan setelah pengamatan yang cukup lama, idealnya 12 bulan. Aku telah mengamati dia sepanjang itu, bahkan 18 bulan durasinya. Memang game lah yang akhirnya merusak rumah tangga kami.

Balik lagi ke pertemuan tadi, semuanya terdiam cukup lama. Untungnya, orang tuanya akhirnya setuju! Bahkan, aku melihat dirinya mendadak berbinar-binar. Semangatnya kembali. Ketika aku bilang, "untuk semua administrasi biar saya saja yang ngurus," dia memotong, "Diurus bareng aja," Artinya, dia memang menginginkan perpisahan itu terjadi. Bahkan dia sudah tahu bahwa anulasi pernikahan itu lama, bisa bertahun-tahun, bahkan bisa sampai ke Roma. Bukankah itu berarti dia berkehendak dengan sadar untuk membatalkan pernikahan itu?

Nggak habis pikir deh. Kalau ga serius, ngapain nikah?

Maka, sejak saat itu, kami pun hidup berpisah. Awalnya aku sengaja mengulur-ulur pengurusan anulasi pernikahan itu, dengan sedikit harapan siapa tahu ia berubah. Ternyata tidak. Dalam satu tahun ini, dia tidak pernah chat aku sekali pun, kecuali saat menanyakan masalah anulasi pernikahan. Ketemu juga nggak pernah (nah ini hebat banget, karena kami aslinya sekantor. Bahkan dalam tiga kali acara ramah-tamah yang diadakan kantor, ga pernah ketemu lho!). Nyapa? Apa lagi. Bukan karena dia malu, tapi karena dia sudah benci total padaku. Aku pun sekarang juga berubah jadi benci padanya. Kalau bisa, nggak perlu berhubungan lagi dengannya. Sayangnya proses anulasi belum bisa dimulai. Gerejanya masih sibuk.

Aslinya aku ingin bercerita lebih jauh lagi tentang semua ini. Kenapa sih kok bisa sampai aku memutuskan untuk berpisah bahkan membatalkan pernikahan? Tentunya ada sebuah alasan yang sangat krusial. Ini semua berhubungan dengan game, jadi jangan marah kalau seolah-olah game dijadikan kambing hitam di sini. Aku sendiri gamer, dan dulu juga menolak bahwa game itu selalu disalahkan atas sesuatu. Tapi, kini aku mengalami sendiri betapa rumah tangga pun bisa jadi rusak karena game. Aku akan menceritakan semuanya, dari awal kami bertemu, sampai akhirnya kami harus berpisah.

Semuanya karena game.

Sampai detik ini aku masih berusaha pulih dari kekosongan tiba-tiba yang terjadi di hidupku. Begitu sampai di rumah, aku pun bercerita pada papa atas hasil pertemuan tadi. Malam itu segala kesedihanku pun memuncak. Aku merasa gagal menjadi orang dewasa dalam hal pernikahan. Aku merasa mengecewakan orang tua karena hanya aku yang memutuskan berpisah. Siapa juga kan yang mau pernikahannya gagal? Untungnya orang tua sangat mendukung keputusanku berpisah, bahkan selalu mendorong untuk segera mengurus anulasi pernikahan supaya bisa segera putus hubungan total dengannya.

Ada benarnya sih. Kadang-kadang rasa bersalah itu bisa muncul sendiri, terutama kalau melihat teman-teman yang pernikahannya "terlihat" mesra, tidak ada apa-apa (ga mungkin benernya kan ya? Tapi yang kita lihat di medsos tentunya sudah difilter, ya kan?), sudah punya anak, dst.. Beberapa kali pernah terbersit pikiran untuk lompat saja dari balkon apartemen dan mengakhiri semaunya ini.

Hanya satu pemikiran yang mencegahku melakukan hal itu.

Hidupmu jauh lebih berharga daripada orang itu.
Bayangkan, kalau kamu bunuh diri, siapa yang akan merawat orang tuamu? Sanak saudaramu? Teman-temanmu akan pontang-panting mencari pengganti (bukannya mau nyombong, memang kantor sih pasti bisa cari pengganti karyawan, tapi nggak bisa cepat kan?). Belum lagi proyek-proyek hobimu yang belum selesai. Siapa yang mau menyelesaikan?
Dan dia akan tetap cuek saja sekalipun kamu mati.

Tapi beneran, kalau teman-teman yang baca ini juga sedang mengalami depresi, hadapi. Cari teman yang benar-benar bisa diajak ngomong, atau bahkan cuma mendengarkan keluh kesahmu saja. Kalau perlu, hubungi psikiater. Sudah saatnya depresi dipandang sebagai sebuah penyakit yang juga sama mengancam jiwa seperti penyakit fisik. Kabur dari penyebab masalah tidak akan menyelesaikan masalah, malah bisa membuatnya tambah besar.

Aku jadi ingat pernyataan Clara di email-nya (kapan-kapan aku akan cerita, kok email?). Dia bilang, dia bersedia menanggung semua dosa akibat perbuatannya. Maka, eh ya sudah lah, kepo amat sama perilaku orang yang ga bener? Toh dia sudah bukan urusanku lagi kan? Biarlah dia berperilaku sesukanya, yang penting kelak dia akan menanggung segala akibatnya. Beres kan?

Well, itu dulu pengantar kisah hidupku yang rumit ini. Sampai di kisah berikutnya.