Sabtu, 18 April 2020

Bab 2: Pacaran. Kebahagiaan. Keseriusan.

Halo! Kembali lagi di kisah kehidupan yang bak sinetron ini. Maaf lama yah, kapan hari agak kewalahan menyesuaikan diri dengan WFH, apalagi karena mata kuliahku banyak. Sekarang sih masih kewalahan, tapi sudah menemukan ritmenya, hehehe...

Sampai mana ya terakhir? Oh ya. Kisah masa-masa pacaran. Kalau disuruh cerita masa-masa pacaran... sejujurnya agak lupa, hahaha... dan mungkin kau akan cukup bosan. Sudah banyak kisah cinta di luar sana yang mungkin lebih romantis dari ceritaku ini. Aku sendiri tidak pernah mengarang kisah romantis sih. Jadi ini cerita apa adanya ya.

2015

Setelah resmi menyatakan pada dunia kalau jadian, maka sudah tidak ada lagi yang perlu ditutup-tutupi. Walaupun sudah banyak yang tahu dari begitu intens dan dekatnya interaksi aku dengan Clara di Facebook, semua akhirnya menyemangati saat pengumuman itu dilontarkan. Sekarang, akhirnya aku dan Clara bisa dengan bebas jalan berdua, melakukan hal-hal yang kami sukai bersama. Aku nggak ingat kapan, tapi akhirnya aku memberanikan diri juga untuk bilang ke mama dan papa bahwa aku akhirnya pacaran. Dengan Clara. Yaa... awalnya sih bisa ditebak reaksi mereka bagaimana, dan mama agak menginterogasi juga. Tapi akhirnya mereka bisa menerima, karena kelihatannya aku serius dengan Clara. Yang penting itu: keseriusan.

Well, pada masa itu, aku belum tahu apakah Clara serius atau tidak. Tentunya belum sampai terpikir ke tingkat lebih lanjut. Nikmati dulu masa-masa pacaran, ya kan? Jadi pepatah kuno Cinta itu buta ternyata memang benar.

Jadi, ngapain saja sih selama masa pacaran? Hmmm... mungkin cara kami berpacaran bisa dibilang tidak normal untuk orang kebanyakan. Kami hanya kencan di akhir pekan, yaitu setelah ke gereja, itu pun hanya sesekali ke mal. Di luar itu? Kami berdua masih melanjutkan kebiasaan chat sih, waktu itu di Google Hangouts. Kenapa? Karena bisa diakses dengan mudah dari HP, tablet, maupun PC, dan semua chat tersimpan otomatis tanpa perlu melakukan apapun. Entah kenapa orang-orang tidak menyadari kelebihan aplikasi satu ini. Eh jadi curcol hal yang lain, hahaha... kalau ada yang tanya di mal ngapain? Yaaaa makan (biasanya junk food sih), lalu main di arcade (Stinger atau sekarang jadi Fun World, Amazone, seperti itu lah). Main apa? Aku sih suka rhythm game, jadi semacam DDR, PIU, Taiko, dan ke depannya bahkan Dance Core (eh bener ga ya namanya itu? Yang sempat booming karena banyak lagu Koreanya), pernah coba Mai-Mai. Kadang-kadang pernah main tembak-tembakan yang coop (Time Crisis, House of the Dead 4, pernah juga coba The Walking Dead pas baru pertama kali rilis, sampai dapet kesempatan untuk ngisi kuesioner tentang mesin itu dan dapat voucher gratis).

Kalau tidak sedang kencan, maka sehari-hari kencannya daring. Awal-awal kami berdua masih sering main DN sih, hanya saja anggota guild perlahan-lahan menghilang satu per satu. Karena sempat vakum agak lama (mungkin ada sebulan lebih), waktu masuk si Clara disambut dengan layar welcome back (waktu itu memang ada program menyambut kembali pemain yang sudah lama tidak masuk). Eh tanpa sengaja dia memencet finish my current quest. Akibatnya, dia tidak bisa tahu jalur cerita yang semestinya. Waktu itu aku sudah sedikit maju di depan. Berhubung dia suka main DN karena ceritanya, akhirnya semangat itu mendadak lenyap. Dia mulai tidak bersemangat untuk melanjutkan. Ya sudah, akhirnya aku mencoba mencari penggantinya, yang kurang lebih gameplay-nya mirip dengan DN.

Ketemulah Guild Wars 2. Walaupun game ini bayar, tapi bisa coba dulu gratis, bahkan tidak ada batas waktunya. End game content-nya yang bayar. Ya sudah deh, mencoba main. Cukup menyenangkan, walaupun tidak terlalu mirip DN, pace-nya lebih pelan tapi masih menantang juga. Maka jadilah DN pun ditinggalkan (aku bahkan masih punya catatan kehidupan karakter DN, yes kami role-play dan rajin menulis catatan dari sisi karakter, bahkan pernah juga bikin cerpennya. Aku ingat menulis catatan terakhir untuk DN, karena setelah ini mereka akan ditinggalkan begitu saja.).

Well, tha was our life. Ga istimewa sekali ya? Jauh dari gambaran orang kencan pada umumnya. Aku tidak pernah mengunjungi rumahnya karena aku tidak punya kendaraan sendiri (hail Uber dan sekarang Grab). Jadi, kegiatan sehari-hari ya itu deh, nge-game di malam hari, ke gereja di hari Sabtu, lalu hanya sesekali saja nge-date setelahnya. Irit ya?

Jadi, entri bab ini kayanya pendek deh, hehehe...

Oh ya, ada satu lagi mungkin yang bisa kuceritakan sebelum ganti topik. Waktu temanku yang jadi direktur divisi IT di kantor membutuhkan tenaga baru, dia langsung bertanya padaku. Clara gimana? Isa ga? Ya aku jawab coba aja, dan memang dia lebih kuat di pemrograman daripada di multimedia. Maka, aku minta Clara ikut seleksi tes masuk. Awalnya ngeluh karena tesnya sulit dan ga selesai, tapi kata temanku logikanya paling jalan dibandingkan kandidat lainnya.

Maka, jadilah dia anggota divisi IT di kantor. Untungnya kami beda unit, jadi etika karyawan masih terpenuhi. Jadi, chatting-nya sekarang juga pindah, di jam kantor juga tetap chatting.

Sampai akhirnya...

2017

Suatu hari, Clara chat bahwa mamanya meminta agar aku melamarnya. What??? Bahkan perkenalan orang tua saja belum. Aku juga belum terlalu kenal dengan orang tuanya (ya, gimana mau kenal, wong bertamu saja nggak pernah, hehehe...). Setelah bernegosiasi, akhirnya sepakat bahwa lamaran akan dilangsungkan di hari ulang tahunku, yaitu 9 Juni. Mulai deh bingung dengan ini-itu (apalagi sebenarnya keluargaku tidak terbiasa dengan budaya ting jing), namun akhirnya lamaran tersebut terlaksana juga. Akhirnya juga ditetapkan bahwa tanggal pernikahan adalah 18 Agustus 2018. 180818. Tanggal cantik ya?

Sayangnya, terjadi perubahan pada Clara sejak tanggal pernikahan diputuskan...

Entah sejak kapan, Clara menemukan game Dragon Nest Mobile. Aku agak malas main karena baterai HP-ku saat itu cepat drop, dan lagian semestinya ada DN PC, tapi Clara tidak mau melanjutkan karena dia tidak sengaja skip story, dan gagal transfer char sewaktu ada perpindahan server, jadi hanya aku satu-satunya yang bertahan di guild itu. Maka, dia main sendiri. Sejak itulah dirinya mulai berubah. Kami mulai jarang chat seperti dulu (bahkan dia pindah ke Line. Belakangan kupikir-pikir, ada penyebabnya sendiri, tapi ini hanya dugaan sih), dia lebih sibuk dengan DN M-nya. Bahkan, pernah suatu hari saat kami sedang nge-date, dia dengan antusiasnya cerita bahwa dia sudah menikah di game tersebut, dan cerita betapa menyenangkannya bermain dengan suaminya. Mari kita sebut dia Larry.

Astaga, lalu calon suamimu ini diapakan?

Itu awal dari fenomena gunung es yang cukup terlambat kusadari, sehingga akhirnya bahtera rumah tanggaku pun ikut karam seperti Titanic.

2018

Tanda-tanda bahwa Clara tidak serius dalam menyiapkan pernikahan semakin terlihat. Kami jadi lebih sering bertengkar, baik untuk hal sepele maupun hal serius. Yang paling kuingat adalah perkara nasi kotak. Clara menuduh bahwa mamaku tidak mau diberi masukan dan menutup segala kemungkinan, padahal yang terjadi sebaliknya. Pernah setelah pertemuan yang berakhir pada kesepakatan bahwa nasi kotaknya adalah nasi kuning (yang kebetulan tidak disukai Clara, tapi apa coba relevansinya? Toh yang makan adalah para undangan gereja), beberapa hari kemudian aku mendapat kiriman nasi kotak dari pihak camer. Katanya silakan dicoba, rasanya enak. Waktu dibuka, astaga... isinya nasi capcai yang tentu saja sudah dingin, tidak enak dimakan. Tapi bukan masalah enak tidaknya yang kupermasalahkan. Apa mereka sudah mikir perasaan keluargaku waktu melakukan hal itu? Tapi aku dan mamaku memutuskan untuk diam saja, daripada ribut. Walaupun, aslinya aku sempat ribut besar dan papaku sampai ikut marah dan berkata, lebih baik pernikahan ini dibatalkan saja. Banyak pertengkaran lain yang aku sudah lupa apa saja, tapi intinya pihak camer sering berubah keputusan setelah rapat dan seakan ingin menguasai sendiri pernikahan itu. Mungkin beberapa akan bilang maklum kalau aku mengatakan bahwa itu adalah pernikahan pertama dan satu-satunya dari seluruh anaknya, tapi ya nggak boleh begitu dong? Pernikahan adalah persatuan dua keluarga, jadi harus saling tenggang rasa dan konsisten atas hasil rapat yang sudah disepakati bersama.

Itu tanda pertama yang kuabaikan. Karena aku dan mamaku berpikir, sudah sampai sejauh ini, masa harus mundur begitu saja?

Tanda berikutnya? Waktu kursus persiapan pranikah, yang salah satu harinya bareng dengan pengeboman gereja tempat prosesi pernikahanku kelak (13 Mei?). Kursus itu dilakukan dua kali. Di keduanya, si Clara justru memilih main DN M hingga dini hari (kalau nggak salah lebih dari jam 1). Padahal kursusnya dimulai pagi (mungkin jam 8?), jadi harus bangun pagi. Aku sih tidur lebih awal, tapi dia? Akibatnya, waktu di kelas, dia mengantuk dan pasti tidak mendengarkan materi kursus. Tentu saja aku mendengarkan dengan serius, karena aku serius dengan pernikahan ini. Di ajaran Katolik, pernikahan itu harusnya hanya berlangsung sekali seumur hidup, jadi harus dijaga dan dipersiapkan dengan baik.

Sayang, aku mengabaikan tanda itu.

Tanda-tanda lain perlahan-lahan bermunculan. Tiap kali rapat persiapan pernikahan, si Clara agak malas-malasan dan malah mainan HP. Kami sempat beberapa kali bertengkar sampai akhirnya aku memutuskan, ini harus dipertegas. Kamu serius nikah nggak?

Juni 2018

Malam Minggu, setelah pergi gereja dan makan, di teras rumahnya aku menanyakan keseriusannya untuk menikah. Saat itu, aku menyatakan bahwa aku tidak mau kehilangan dirinya. Kalau memang ada yang salah dariku, ingatkanlah, kalau ada yang salah darimu, kuingatkan. Aku nggak bisa jalan sendirian, karena pernikahan ini adalah komitmen bersama dari dua orang, ya kan? Waktu itu, dia menjawab menyanggupi untuk melanjutkan pernikahan ini, karena semuanya sudah disiapkan, masa mundur?

Semestinya, kalau dia tegas, saat itu juga dia mundur. Supaya kegoyahan-kegoyahan ini tidak membuat runtuh rumah tangga yang akan dibangun.

Sayangnya, itu tidak terjadi.

Mendadak aku ingat satu hal lagi yang sangat membuatku marah saat itu. Clara ini adalah salah satu anggota sebuah organisasi keagamaan Katolik Karismatik yang cukup besar di Surabaya (aku tidak perlu sebutkan supaya tidak terjadi penilaian negatif pada organisasi tersebut, karena aku yakin sebenarnya bukan organisasinya yang salah, tapi pribadi anggota-anggotanya). Karena saksi Gereja tidak boleh dari keluarga sendiri, aku memintanya untuk mencari saksi. Nah, dia mengusulkan agar saksi Gereja adalah "om" dan "tante" (ini kedua pendiri organisasi tersebut, memang sudah biasa disebut om dan tante. Untuk mempersingkat, nanti organisasi ini akan aku sebut dengan inisial KKM, Kementerian Keselamatan Manusia). Oke lah, walaupun aku sejenak sudah punya sedikit ketidaksukaan tersendiri. Terkait KKM ini, aku memang tidak terlalu menyukai organisasi karismatik; singkatnya karena ibadah mereka terlalu "bersemangat" sementara aku adalah golongan konservatif yang lebih menyukai keheningan ketika beribadah. Selain itu, Clara beberapa kali bercerita bahwa lingkungan pergaulannya di KKM agak kurang sehat karena orangnya "antik-antik" (banyak yang memiliki keunikan yang, sayangnya, negatif). Maka aku agak menyangsikan sebenarnya kegunaan KKM ini, karena kok anggotanya (termasuk Clara sendiri) kurang mencerminkan seseorang yang seharusnya beriman. Well, tapi itu perdebatan lain kali ya. Aku dan Clara pun sudah sepakat bahwa setelah menikah Clara masih bebas ikut KKM, tapi aku tidak akan pernah ikut KKM. Bagiku, agama bukan lah sesuatu yang bisa dipaksakan begitu saja. Aku pernah ikut ibadah KKM dan karismatik lainnya, dan aku sangat tidak menikmati ibadah tersebut. Oke, kukira problem solved.

Balik lagi ke cerita. Aku nggak ingat apakah sebulan atau dua pekan sebelum hari H, mendadak aku dipanggil oleh si om. Kenapa? Ya katanya mau kenalan, masa saksi nggak kenal dengan orang yang dia jadikan saksi. Menurut Clara sih om dan tante ini sudah sering sekali jadi saksi para anggota KKM, jadi harusnya oke.

Tahu apa yang terjadi?

Selama dua jam berikutnya, aku diceramahi habis-habisan oleh si om. Aku seakan adalah orang tersesat yang menyangkal Roh Kudus. Orang Katolik harus mengakui trinitas, yaitu Bapa, Putra, dan Roh Kudus, namun sering kali mereka melupakan Roh Kudus. Maka, KKM ini adalah sebuah organisasi yang katanya penuh dengan curahan Roh Kudus. Well, aku nggak percaya sepenuhnya sih... dan dari cara bicaranya, aku seolah dipaksa untuk menjadi anggota KKM setelah nikah. Oh sori ya, that never happens. In present tense. Aku tidak akan pernah mau bergabung dengan organisasi keagamaan yang aku tidak sreg sendiri terpanggil. Tapi, seolah om tidak peduli. Akhirnya sih penderitaanku berakhir karena sudah malam sekali (pukul sepuluh lebih rasanya). Di sepanjang perjalanan, aku diam saja, menunjukkan kemarahan yang aku tidak ungkapkan. Clara sepertinya punya penyesalan karena setelah sampai di rumah dia minta maaf. Yah, kalau dia tahu aku persis, seharusnya itu tidak terjadi. Maka sejak itu, aku justru bertekad membuktikan, bahwa tanpa ikut KKM pun, aku masih bisa mengabdikan diriku ke sesama. Panggilanku adalah di tugas paduan suara Gereja, jadi sebenarnya sama saja, ya kan? Bahkan Gereja sekarang juga ada keluhan bahwa anggotanya tidak lagi mau berpartisipasi aktif di Gereja. Bukannya menyombongkan diri, tapi aku jadi malah memenuhi permintaan Gereja kan? Bukannya mengadakan organisasi sendiri (yang walaupun iya sih diakui Gereja). Tapi ya sudah lah, itu urusan lain. Aku tidak melarang Clara untuk mengikuti agenda KKM rutin, yaitu ibadah sel tiap Senin dan ibadah malam tiap Jumat. Aku juga percaya pada siapapun yang sudah berbaik hati untuk menjemputnya dan mengantarnya pulang tiap dua hari itu. Tidak baik berburuk sangka, ya kan?

Oh ada lagi. Terkait KKM ini, kalau seseorang sudah fanatik ikut, well... bahkan keluarganya sendiri pun diabaikan. Suatu hari, juga menjelang hari H pernikahan, keluargaku ada undangan pesta ulang tahun salah satu tetua (umur 90an kalau tidak salah, aku lupa). Keluarga besar diundang, dan tentu saja aku juga diharapkan membawa calon pengantin. Masa si engkong tidak tahu calon mantunya?

Tahu reaksi awal si Clara?

Tidak mau ikut. Karena di saat bersamaan, dia ada ibadah terakhir di kelompoknya. Setelah menikah, dia harus pindah dari divisi single ke divisi pasutri, dan dari ceritanya divisi pasutri ini tidak menyenangkan. Malah, dengan nada tidak menyenangkan (tentu saja ini interpretasiku sendiri ya, karena semuanya dilakukan via chat), dia menantang balik. Harus ta?

Eh, kamu mau menikah ya. Pernikahan itu berarti dua keluarga jadi satu. Maka mencobalah membaur dengan keluarga pasanganmu. Ini memang juga kesalahan terbesar kami berdua, karena kami jarang terlibat dengan acara keluarga masing-masing. Aku tidak pernah ikut acara keluarganya (dan tidak pernah diajak), dia juga hanya beberapa kali ikut acara keluargaku. Hanya saja, yang terakhir ini penolakannya begitu besar.

Ya bertengkarlah lagi kami. Sampai akhirnya dia nyadar alasan sebenarnya. Oke lah, akhirnya dia bisa paham, dan "merelakan" ibadah terakhirnya tersebut. Karena aslinya lho ya, kalau cuma masalah orang-orangnya saja, dia tetap masih bisa berhubungan dengan teman-temannya yang jomblo itu, ya kan? Aku tidak pernah melarang dia untuk bersosialisasi dengan teman-temannya, bahkan aku tidak tahu siapa saja mereka. Aku tidak pernah tahu, tidak pernah dikenalkan, dan tidak pernah mau tahu. That's her right, that's her privacy. Tapi mungkin ini kepercayaan berlebihan, karena kelak nanti ketidaktahuanku ini menjadi bumerang.

Intinya sih, hal yang sama terjadi lagi. Aku merasa dia tidak serius menjalani pernikahan ini. Bodohnya, kali ini aku tidak menanyakan lagi keseriusannya (bahkan surat panjang yang aslinya kusiapkan sejak 50 hari menjelang pernikahan tidak pernah kuberikan padanya).

Itulah kesalahan, atau kebodohan terbesar, yang akhirnya membawaku pada kejadian ini.

Dan entah mengapa, aku mulai merasakan ada cinta terlarang yang terulang. Sayangnya, bukan antara aku dan Clara, namun antara Clara dan Larry.

18 Agustus 2018

Ah, sakramen pernikahan yang begitu agung. Resepsi yang, walaupun ada kekacauan, namun secara umum semuanya berjalan dengan baik.

Hanya saja, malam pertamaku tidak seindah malam pertama yang biasanya orang-orang bayangkan. Alih-alih bercinta, si Clara malah bermain DN M bersama teman-teman guild-nya, dan seharusnya tidak dipungkiri, suami mayanya.

Namun, sekali lagi, aku mengabaikan hal itu, dan mengira semuanya akan membaik setelah kami tinggal bersama. Mungkin kapan hari itu hanya stres pranikah karena mendadak banyak yang harus disiapkan dan semuanya banyak yang tidak dia inginkan di luar kehendaknya. Mungkin setelah ini akhirnya kami menikmati hidup bersama yang selalu kami idam-idamkan? Bisa bermain bersama setiap hari, melakukan hobi bersama setiap kali?

Yah, pekan pertama, itu yang terjadi. Namun...

25 Agustus 2018

PC-nya datang ke apartemen. Sejak itulah, rumah tangga yang fondasinya tidak kokoh ini mulai goyah lagi. Kisahnya akan kuceritakan lebih lengkap di bab-bab berikutnya.

Dari sinilah pula, walaupun tidak pernah bisa kubuktikan, sebuah benih cinta terlarang mulai tumbuh. Sayangnya, bukan antara aku dan Clara (bagaimana bisa disebut cinta terlarang sementara kami sudah menikah?).

Ini adalah kisah antara Clara dan Larry.

Yang akan kuceritakan di bab berikutnya. Ditunggu yah!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Seluruh komentar pada blog ini akan dimoderasi terlebih dahulu sebelum diterbitkan.