Setelah sekian lamanya, akhirnya saya mendapat panggilan ke tribunal kembali. Di sana, saya diceritakan atas proses yang telah terjadi, yaitu panggilan sidang dari pihak tergugat (mantan istri saya). Saya tidak akan menceritakan detail tentang apa yang terjadi (karena saya tidak ingin mengumbar keburukan orang lain), namun intinya pihak tergugat mengakui seluruh tuduhan saya, terutama karena ada perselingkuhan. Pada pekan ini, keputusan tribunal telah keluar, dan saya dihubungi terlebih dahulu untuk tanda tangan surat pernyataan bahwa saya menerima keputusan ini dan tidak mengajukan banding. Selebihnya, dalam waktu dekat saya akan dipanggil lagi oleh romo dan langsung menghadap di Keuskupan untuk menerima surat anulasi.
Beberapa hal yang diberitahukan ke saya dan saya anggap penting untuk diketahui bersama:
- Anulasi ini hanya bisa terjadi sekali seumur hidup. Kesempatan berikutnya, jika saya menikah lagi, saya tidak dapat mengajukan anulasi kembali. Ini sebenarnya jadi pisau bermata dua: di satu sisi, memang ini baik dilakukan supaya seseorang tidak bermain-main dengan perkawinan Katolik. Di sisi lain, ini membuat saya semakin takut untuk kembali menjalin hubungan serius atau bahkan sampai ke jenjang perkawinan lagi. Semestinya diperlukan konseling untuk korban-korban perkawinan gagal seperti saya ini, dan setahu saya memang ada. Jadi, kalau memang ada trauma perkawinan, sebaiknya ajukan konseling saja. Ke depan, kalau memang ragu dengan perkawinan itu, lebih baik diurungkan saja. Tidak ada kesempatan kedua.
- Anulasi bukan perceraian. Anulasi menyatakan perkawinan Gereja ini tidak sah karena adanya kecacatan; itulah sebabnya sidang tribunal lebih banyak menanyakan ke hal-hal sebelum perkawinan dan bukan sesudahnya. Hal-hal sesudah perkawinan sudah ditangani oleh pengadilan sipil.
- Anulasi bisa ditolak. Ada beberapa kasus yang bisa membuat permohonan anulasi ditolak, dan ini sepenuhnya menjadi keputusan tribunal. Saya tidak dapat cerita secara persisnya kapan suatu permohonan anulasi ditolak, jadi kalau mau permohonannya diterima, saran saya jujur saja. Kalau memang perkawinan itu cacat bahkan sebelum disahkan di depan altar, misalnya karena adanya tekanan atau paksaan, jelaskan apa adanya. Akan lebih baik kalau pihak yang paling dirugikan saja yang mengajukan, supaya alasannya kuat. Itulah sebabnya saya lah yang menggugat anulasi ke mantan istri saya; akan konyol jika kamu mengajukan anulasi karena ingin kawin lagi dengan orang lain.
- Jangan mengajukan permohonan sakramen perkawinan yang baru ke Gereja sebelum keputusan tribunal diterbitkan. Ini aneh saja sih, karena tentunya Gereja pasti mencatat status perkawinan kita masih berlangsung saat tribunal belum memutuskan apakah permohonan kita diterima atau ditolak. Apalagi kalau kamu mengajukan sakramen perkawinan ke gereja yang sama dengan pernikahanmu sebelumnya. Gereja pasti akan memeriksa terlebih dahulu ke tribunal, apakah proses anulasinya sudah selesai atau belum. Kalau belum, sudah pasti Gereja akan menahan pengajuan sakramen perkawinan yang baru. Lha kan secara resmi masih menjadi suami atau istri orang, bagaimana bisa kawin lagi? Mungkin kalian beranggapan, mana ada sih yang mengajukan perkawinan baru selagi belum diputuskan perkawinan sebelumnya batal? Well, saya adalah salah satu saksi hidup. Saya tidak akan berkomentar lebih jauh tentang ini, karena itu adalah hak mantan istri saya, dan memang Gereja memperbolehkan seseorang untuk kawin setelah anulasinya dikabulkan, bukan saat anulasinya sedang berjalan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Seluruh komentar pada blog ini akan dimoderasi terlebih dahulu sebelum diterbitkan.